Nation State Melemahkan Kaum Muslim

Oleh : Lisna Hayati


Seratus tahun sudah sejak berakhirnya Perang Dunia 1 (PD I) 28 Juli 1914 - 11 November 1918 umat islam nyaris tidak mendapat perlindungan dari pemimpinnya, padahal kaum muslimin sebelum PD I mereka memiliki sebuah Daulah Islam, sekalipun negaranya telah lemah dan mengalami kekacauan ia tetap menjadi pusat arah pemikiran dan perhatian umat. Untuk memperingati peristiwa bersejarah ini maka Ahad 11 Nov 2018 sejumlah pemimpin negara dunia memperingati tepat 100 tahun berakhirnya PD 1, peringatan ini langsung dihadiri oleh Presiden Prancis Emmanuel macron sebagai tuan rumah, Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Mereka memberi penghormatan pada kurang lebih 10 juta prajurit dan jutaan nyawa rakyat sipil karena perang dasyat yang berlangsung selama 4 tahun. Perang Dunia I adalah perang global yang terpusat di Eropa dengan melibatkan dua kekuatan besar dunia yang saling bertentangan, yaitu sekutu (Britania Raya, Prancis dan Rusia) melawan blok sentral (Austria - Hongaria, Jerman dan Italia).


Kedahsyatan perang dunia I telah membawa perubahan yang signifikan bagi dunia Islam, khilafah Ustmaniyyah sebagai pihak yang kalah perang dan disusul dengan keruntuhannya adalah awal terpecahnya kekuatan dan wibawa kaum muslimin di pentas dunia. Diantara peristiwa yang meluluh lantahkan Daulah Islam adalah Perjanjian Sykes-Picot (16 Mei 1916), perjanjian ini sangatlah penting bagi penjajah barat, dengan perjanjian ini mereka membagi bagikan wilayah kaum muslimin seakan mereka membagi ghanimah (harta rampasan perang) yang telah mereka dapat. Dari perjanjian ini Rusia memperoleh provinsi2 khilafah Ustmaniyah seperti Erzerum, Trebizond, Van dan Bitlis serta bagian timur Kurdistan. Prancis memperoleh Suriah, Libanon, Adana dan bagian selatan antara Aintab dan Mardin sampai ke perbatasan Rusia, ke sebelah utara Prancis memperoleh wilayah Ala Dagh sampai Egin Kharput (Sisilia). Inggris memperoleh bagian selatan mesopotamia, Baghdad dan pelabuhan Haifa serta Acre Paletina. Perjanjian Sykes-Picot juga mengatur pembagian sumber2 minyak antar negara penjajah di Mesopotamia. Dapat dibayangkan setelah keruntuhan khilafah Ustmaniyyah umat Islam tidak lagi memiliki pelindung yang menyatukan umat.


Pasca PD I yang dilanjutkan dengan perjanjian Sykes-Picot adalah awal dari tumbuh nya konsep negara kebangsaan yang dibangun atas 5 pilar penting yaitu 

1. Suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa/seluruh ummat berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan traksaksional terbuka antara pihak2 yang mengadakan kesepakan

2. Dalam konsep negara kebangsaan nasionalisme merupakan landasan bangunan yang paling kuat. Nasionalisme adalah situasi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara bangsa atas nama sebuah bangsa

3. Nation State merupakan suatu wadah yang didalamnya terhimpun orang2 yang memiliki perasaan yang sama walaupun ras, agama, etnis, bahasa dan budaya berbeda.

4. Memiliki bangunan politik seperti ketentuan2 batas teritorial, pemerintahan yang sah, pengakuan luar negri yang merupakan akibat langsung dari gerakan nasionalisme

5. Nation state adalah konsep tentang negara modern yang terkait erat dengan faham kebangsaan dan nasionalisme.


Dari 5 hal di atas kita bisa melihat betapa banyak kelemahan konsep nation state terutama sangat merugikan dan melemahkan kaum muslimin, diantara keburukan konsep ini adalah :

1. Konsep ini bukan berasal dari Islam dan merupakan gagasan jitu kaum kafir penjajah, mereka sangat menyadari bahwa kekuatan kaum muslimin ada dalam bersatunya umat Islam, hal ini di isyaratkan Allah dalam QS Al Hasyr ayat 14

"Mereka tidak akan memerangi kamu secara bersama sama, kecuali di negri2 yang berbenteng atau dibalik tembok, permusuhan antar sesama mereka sangat hebat, kamu kira mereka itu bersatu padahal hati mereka terpecah belah, yang demikian itu karena mereka orang2 yang tidak mengerti"

2. Dengan terpecah belahnya negri Kaum muslimin ke dalam sekat2 negara maka satu negara tidak bisa membantu menyelesaikan masalah bila negara yang lainnya ada dalam masalah, sebagai contoh fakta pembantaian yang terjadi di berbagai belahan negri kaum muslimin seperti di Palestina, Rohingya, Uighur China, Fattaya Thailand, Suriah dll, atas nama berbeda batas teritorial kita sebagai saudara se iman hanya mengelus dada dan memberikan pertolongan alakadarnya padahal yang lebih mereka butuhkan adalah bantuan militer/pasukan yang mampu mengakhiri penyiksaan dan kedholiman.

3. Kekuatan terbesar konsep nation state adalah nasionalisme, padahal ikatan nasionalisme padahal ikatan ini tergolong ikatan yang paling lemah, rendah nilainya serta emosional sifatnya. Sebagai contoh ketika ada kompetisi olah raga antar negara tidak jarang menyebabkan permusuhan dan kebencian padahal yang mereka musuhi itu saudara seiman se aqidah. Di Indonesia sendiri semangat nasionalisme diperkuat oleh beredarnya hadist palsu "Hubbul Wathan minal iman" (Cinta tanah air sebagian dari iman) sehingga ini jadi hujjah bagi kaum muslimin yang hanya taqlid pada guru2 mereka untuk mencintai negerinya walaupun kondisi nya sudah jauh dipisahkan dari agamanya.

4. Konsep ini sebagai bentuk neoimpelialisme dan neokolonialisme kafir penjajah atas negri kaum muslimin, konsep ini memudahkan mereka untuk menyebar luaskan tsaqafah asing, uang dan agen-agen mereka. Mereka masuk ke detil-detil permasalahan kaum muslimin sampai tidak satupun program yang keluar dari model (manhaj) umum yang mereka agendakan. Subur nya LGBT, Riba, pernikahan antar agama, narkoba, pergaulan bebas, hedonisme dll adalah hasil dari usaha mereka senantiasa menjajah dan melemahkan kaum muslimin dengan bentuk penjajahan gaya baru.


Konsep negara kebangsaan sangat bertolak belakang dengan konsep negara dalam islam, bila nation state memecah belah kaum muslimin maka sistem negara dan pemerintahan dalam Islam adalah sistem kesatuan dimana khilafah menyatukan wilayah wilayah Islam dalam satu kesatuan dan memiliki satu kepemimpinan yang disebut dengan khalifah, Rasulullah Saw bersabda "jika dibaiat dua orang imam maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya" (HR Muslim), hadist ini menunjukkan bahwa dalam Islam tidak boleh ada dualisme kepemimpinan, kaum muslimin wajib tunduk pada satu pemimpin mereka dan menerima kebijakan Khalifah dzahiran wa bathinan, kebijakan Khalifah merupakan hukum Syara' bagi kaum muslimin.


Begitu juga dengan para ulama imam empat mazhab mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang bertanggungjawab melakukan tugas ri’âyah suûn al-ummah (mengatur urusan umat), menolak atau mengingkari kewajiban ini sama artinya telah menyimpang dari kesepakatan mereka, diantara ulama2 besar tersebut adalah:

1. Imam Alauddin Al Kasani, Madzhab Hanafi 

"Sebab. Mengangkat imam Al a'zham (khilafah) adalah fardhu tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul Haq, agar bisa terikat dengan hukum Syara', membela orang yang di dzalimi dan memutuskan perselisihan yang menjadi sebab kerusakan" ( Imam Al Kasani, bada'i Ash Shana'i fi tartib asu syar'i XIV/406)

2. Imam Al Qurthubi, Madzhab Maliki

"Ayat ini adalah dalil atas kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengan itu kalimat persatuan umat disatukan dan dengan itu dilaksanakan hukum2 Khalifah tidak ada perbedaan pendapat mengenai ini, baik di kalangan umat maupun ulama" (Imam Al Qurthubi Al Jami' li ahkam Al Qur'an 1/264-265)

3. Imam abu Zakaria Annawawi, Madzhab Syafi'i

"Para ulama sepakat bahwa wajib atas kaum muslim mengangkat seorang Khalifah kewajiban ini ditetapkan berdasarkan syariah bukan berdasarkan akal" ( Imam Abu Zakaria Annawawi, Syarh shahih VI/291)

4. Imam Umar bin Ali bin adil Al Hambali, Madzhab Hambali

"QS Al Baqarah ayat 30 adalah dalil yang menunjukkan kewajiban mengangkat seorang imam/khilafah yang wajib didengar dan ditaati dan dengannya disatukan kalimat persatuan umat dan dilaksanakan hukum2 Khalifah (Imam Umar Ali bin adil Al Hambali tafsir Al lubab di ulum Al katib 1/204)

Inilah pendapat yang diketengahkan oleh ulama Aswaja dari kalangan 4 Madzhab mengenai kewajiban mengangkat seorang khalifah, seluruhnya sepakat bahwa mengangkat Khalifah/imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib.


Sistem negara dalam Islam juga dibangun atas satu ikatan yang shahih yaitu ikatan aqidah Islamiyyah dimana ikatan yang mengikat antara individu satu dengan yang lainnya adalah ikatan aqidah, sangat berbeda dengan konsep nation state yang bukan berasal dari Islam dan mengedepankan sentimen nasionalisme, padahal paham nasionalisme, patriotisme, kesukuan dll termasuk faham ashabiyyah. Pasalnya dalam dalam faham tersebut kecintaan terhadap bangsa, suku, tanah air dsb itu lebih diutamakan daripada kebenaran dan ketentuan agama. Paham ashabiyyah ini juga sangat dibenci Rasulullah Saw. "jundab bin Abdullah Al bajali berkata: " Rasulullah Saw bersabda : siapa yang terbunuh di bawah Panji ummiyah yang mempropagandakan ashabiyyah atau membela ashabiyyah maka matinya jahiliyyah" (HR Muslim, Annasa'i, Ahmad dan Ibnu Hibban)


Ungkapan 'hubbul Wathan minal iman' memang sering dianggap hadist Nabi Saw oleh para tokoh nasionalis, mubaligh dan juga da'i yang kurang mendalami hadist dan ilmu hadist, tujuannya adalah untuk menancapkan paham nasionalisme dan patriotisme dengan dalil2 agama agar lebih mantap diyakini umat Islam, namun sayang sebenarnya ungkapan ini adalah hadist palsu (mau'dhu) dengan kata lain ia bukan hadist. Dalam kitab tahdizrul muslimin karya Syaikh Al Azhari Asy Syafi'i hal 109 diterangkan bahwa "hadist hubbul Wathan minal iman adalah hadist mau'dhu, demikian juga penilaian imam Assakani menerangkan kepalsuan dalam kitab nya Al Maqasid Al Hasanah FII bayani katsirin min Al hadist Al Musytaharah 'ala Al sirah' halaman 115. Sementara imam Ash Shaghmi menerangkan kepalsuannya dalam kitabnya Al Mau'dhu hal 8, dan banyak ahli hadist lainnya yang menguatkan kepalsuan hadist tersebut. Ini adalah ancaman Rasulullah bagi pemalsu Ucapan Rasulullah "Barangsiapa yang berdusta atasku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka" (Hadist Mutawatir)


Islam tidak mengenal paham nasionalisme kecuali setelah adanya perang pemikiran (ghazwul Fikri) yang dilancarkan kaum penjajah. Faham ini terbukti telah memecah belah kaum muslimin seluruh dunia menjadi terkotak kotak dalam wadah puluhan negara kebangsaan yang membelenggu, maka kaum muslim wajib membebaskan diri dari belenggu yang bernama nation state dan bersatu dibawah kepemimpinan seorang imam (Khalifah) yang akan mempersatukan kaum muslimin seluruh dunia sejak masa Rasulullah sampai keruntuhan daulah Ustmaniyyah (622-1924M). Semoga datangnya pertolongan atas janji Allah ini semakin dekat dengan kita semua.


"Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali agama Allah dan janganlah kamu tercerai berai (Ali Imran 103)


Wallahu A'lam...


Sumber rujukan

1. 100 Tahun berakhirnya Perang Dunia pertama;Media umat;Farid Wadjdi; 

2. Attakatul Al Hizby;Syaikh Taqiyyudin Annabhani

3. Nidzam Al Islam;Syaikh Taqiyuddin annabhani

4. Nation State (konsep negara berbangsa); IlmuTuhan.blogspot.com

5. Hubbul Wathan minal iman apakah hadist palsu?; anaksholeh.net; KH M Shiddiq Al Jawi.

6. Ulama Aswaja sepakat khilafah wajib; Al Waie no 180 tahun XV; 1-31 Agustus 2015.

45Zahra

Ibu, Istri, Anak, Pribadi pembelajar yang sedang suka menulis.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak