Mitigasi Berdimensi Dunia Akhirat




Bencana selalu datang tanpa diundang.   Korban berjatuhan tak terhindarkan.  Awan duka pun dipastikan bergayut di semesta negeri.  Yang terbaru, tentu musibah yang terjadi tepat di malam tutup tahun 2018 menuju 2019.  Apalagi kalau bukan tanah longsor di kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.  Sebelumnya tak berselang lama gelombang tsunami juga menghajar Selat Sunda.  

Rawan Petaka

Memang bila ditinjau secara geografis, posisi nusantara rawan petaka.  Ringkasnya disebabkan faktor berikut,

1. Dilalui cincin api Pasifik dan sabuk Alpide. Indonesia berdiri di atas pertemuan lempeng-lempeng tektonik. Rawan terjadi tabrakan antar lempeng tersebut.  Risikonya gempa bisa terjadi kapan saja.  Termasuk yang berdampak tsunami.

2. Indonesia tercatat banyak memiliki gunung api yang masih aktif, sekitar 140 gunung sehingga rawan terjadi gunung meletus.

3. Iklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi juga menyumbang peran terhadap ketidakstabilan tanah sehingga terancam longsor.

4. Indonesia mengalami musim hujan dan kemarau. Saat musim hujan, curah hujan yang terlalu tinggi menyebabkan sungai- sungai tidak dapat menampung lagi debit air sehingga terjadi banjir.  Di sisi lain saat kemarau pun mencapai puncaknya, udara terlalu kering sehingga gesekannya dapat menyebabkan kebakaran hutan. (Brainly.co.id, 2015).

Dalam kondisi ini tentu mutlak diperlukan seperangkat mekanisme tanggap bencana.  Sebelum semua terlambat.  Meliputi mitigasi, kesiapan, tanggapan, dan pemulihan keadaan. Tangkas menanggulangi darurat pasca bencana tentu sudah merupakan kewajiban.  Namun mumpuni dalam mitigasi, utamanya dalam memberikan peringatan dini sebelum terjadi bencana juga tak kalah pentingnya.  

Lemahnya Mitigasi?

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, mitigasi diartikan sebagai tindakan mengurangi dampak bencana. (2008).

Dalam amanat konstitusi, mitigasi mencakup serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. (UU No 24 Tahun 2007, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 9) (PP No 21 Tahun 2008, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 6).

Sudah tentu dituntut keseriusan pemerintah sebagai pengemban amanat  tersebut.  Sayangnya sampai sejauh ini  lembaga yang terkait malah terkesan saling melempar tanggung jawab.  Pada bencana tsunami Selat Sunda misalnya, terungkap bahwa   Indonesia belum dapat mendeteksi penyebab tsunami selain yang diawali aktivitas gempa tektonik.  Padahal selain tektonik, tsunami juga bisa diakibatkan oleh aktivitas vulkanik berupa letusan gunung berapi.  “Ada lava yang keluar akibat letusan tersebut lalu masuk ke dalam laut. Itulah yang memicu longsoran di pinggir-pinggir gunung, sehingga memicu gelombang tsunami," ujar Sukmandaru, ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia. (tirto.id, 26/12/2018).

Apa yang disampaikan Sukmandaru dibenarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Bahkan, dalam catatan PVMBG, aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau telah berlangsung sejak Juni 2018. Meski demikian, PVMBG tetap tidak bisa memprediksi apakah aktivitas gunung tersebut berpotensi tsunami atau tidak lantaran keterbatasan alat. Sehingga tidak bisa memberikan peringatan dini sebab bukan termasuk dalam kewenangan PVMBG. Miris,  karena sebelumnya BMKG menuding, “Jika ada kemungkinan tsunami akibat aktivitas vulkanik, itu adalah wewenang rekan kami di Badan Geologi," tulis BMKG  dalam instastory di instagram, Minggu (23/12/2018).   

Hal ini menandakan lemahnya koordinasi antar lembaga yang berwenang mengeluarkan peringatan dini tsunami. Ditambah lagi, terbatasnya anggaran maupun alat tak seharusnya jadi alasan bila berhadapan dengan risiko hilangnya berbilang nyawa.

Tak pelak Ketua Ahli Tsunami Indonesia, Gegar Prasetya sempat menertawakan polemik antar institusi dalam menyikapi persoalan tsunami Selat Sunda. "Pemerintahnya tidak serius menangani [tsunami] dan tidak menempatkan orang yang tepat di bidangnya," ujar Gegar kepada reporter Tirto, Selasa (25/12/2018).

Islam Solusinya

Harus diakui berbagai malapetaka merupakan bagian dari kehendak dan kekuasaan Allah swt.  Sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam ayat berikut,

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS Ar Ruum :41)

Tentu dengan beragam hikmah di baliknya. Baik sebagai penggugur dosa seperti yang termaktub dalam sabda Rasul saw, “Tidaklah seorang Mukmin tertusuk duri atau lebih dari itu, kecuali dengan itu Allah meninggikan dia satu derajat atau Allah menghapuskan dari dirinya satu dosa.” (HR Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad). Juga sebagai pengingat betapa lemahnya manusia di hadapan kehendak Allah azza wa jalla. Sehingga kita terlecut melakukan evaluasi untuk kembali pada-Nya.  

Maka sejarah mencatat demikianlah tindakan para khalifah di masa kekuasaan Islam saat bencana menghampiri.  Mereka bersegera melakukan evaluasi menyeluruh terkait apa penyebab,   dan bagaimana solusinya.

Saat terjadi bencana kekeringan dan kelaparan di Madinah, khalifah ‘Umar bin al-Khatthab banyak melakukan evaluasi dan bertobat kepada Allah swt. Selain itu upaya penanganan kemudian dilakukan. Sebagai kepala negara ‘Umar tidak melakukan penetapan harga, tetapi dengan menyuplai pasokan makanan dari Irak dan Syam ke Madinah, sehingga harga normal kembali, dan kebutuhan rakyat pun terpenuhi. Selama masa tanggap darurat lagi-lagi khalifah Umar menghadirkan sisi pentingnya keteladanan dari seorang pemimpin terhadap rakyatnya.   Beliau terjun langsung di tengah masyarakat. Hidup bersama mereka, bahu-membahu dengan mereka. Memikul sendiri makanan dari Baitul Mal untuk rakyatnya. Bahkan beliau pun tak mau makan daging, keju dan mentega selama masa paceklik yang berlangsung kurang lebih dua tahun padahal keduanya merupakan makanan favoritnya. (Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya ar-Rijal Haular Rasul).

Di sisi lain negara juga akan memperhatikan dengan saksama penerapan sistem peringatan dini [early warning], termasuk analisis BMKG dalam konteks bencana alam. Sebab bila tidak, maka negara dianggap melakukan kelalaian. Berisiko dianggap sebagai bentuk kemaksiatan yang bisa mengundang bencana. 

Jika sebelumnya di level negara, maka pada level masyarakat juga mendapat perhatian yang sama. Masyarakat pun diseru untuk bertobat dari maksiat. Dikuatkan mental dan jiwanya untuk taat, ridha dan tawakal kepada Rabb-nya. Pada saat yang sama, mereka ditempa untuk tidak mudah menyerah. Itulah yang disampaikan ‘Umar kepada Abu ‘Ubaidah al-Jarrah ra. dan penduduk Syam saat ditimpa mala berupa wabah penyakit, 

“Kita lari dari satu qadar Allah menuju qadar Allah yang lain.” Secara kolektif, rakyat diajak untuk memohon kepada Allah, dengan salat dan munajat. Bahkan, ‘Umar secara khusus mengirim surat kepada penduduk Syam dan Irak untuk mendoakan penduduk Madinah saat ditimpa bencana. Begitu juga sebaliknya, ketika Syam diserang wabah.

Demikianlah tuntunan Islam menghadapi bencana. Mitigasi yang berdimensi dunia juga akhirat.  Semata berlandaskan keyakinan akan firman Allah, 

“Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” [TQS Ghâfir/40:39]. Wallaahu a’lam 

Ummu Yazid

(Founder Grup Ibu Cinta Quran)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak