Oleh: Dewi Tisnawati, S. Sos.
(Pemerhati Sosial)
Refleksi tahun 2018 adalah tahun kesedihan bagi umat Islam. Kedzaliman demi kedzaliman, kedurhakaan demi kedurhakaan terjadi dengan sangat jelas hingga mengundang berbagai peringatan dari Allah SWT dengan berbagai bencana.
Diantaranya adalah Muslim tertindas mulai dari Palestina, Konflik Suriah, Muslim Rohingnya dan Muslim Uighur. Kriminalisasi Aktifis dan Ulama, seperti Habib Rizieq, Ust. Alfian Tanjung, Ust Adnin Armas, Jonru, Hidayat dan serangkaian kriminalisasi lainnya. Persekusi terhadap dakwah Ust. Abdul Shomad di Bali, deportasi terhadap beliau di Hongkong, persekusi terhadap Felix Siaw, Ust Bakhtar Nasir, da'i dan ulama lainnya.
Berbagai cara dilakukan agar suara-suara kritis dan seruan-seruan ke arah Islam terbungkam. Mulai dengan cara halus membujuk mereka dengan harta dan kekuasaan. Hingga cara kasar berupa pembubaran paksa (seperti yang dialami HTI), pemboikotan dan ancaman hukum, dengan dalih membahayakan keutuhan NKRI. Muncullah di tahun ini, para ulama suu’ dan kelompok-kelompok pemicu konflik horizontal.
Semua yang terjadi ini menunjukkan ketidakadilan hukum yang diberlakukan penguasa. Hukum hanya berlaku bagi umat dan tokoh Islam yang teguh memegang kebenaran. Sementara, betapa banyak kasus SARA yang tidak terselesaikan karena pelakunya diketahu pro penguasa. Salah satunya kasus pembakaran bendera tauhid yang memicu gelombang protes rakyat, termasuk dalam bentuk aksi bela Tauhid 212 yang melibatkan jutaan orang.
Di bidang sosial, betapa banyak fakta yang menunjukkan kegagalan penguasa menjaga masyarakat terutama generasi agar tetap ada pada fitrah kebaikan. Maraknya kasus pornografi pornoaksi, narkoba dan miras, meluasnya komunitas LGBT, keguncangan keluarga, kriminalitas dan lain-lain turut melengkapi potret buram sepanjang tahun 2018.
Pada dasarnya semua kedzaliman atas umat Islam tersebut mengundang terjadinya berbagai bencana sebagai teguran dari Allah SWT. Di penghujung 2018 ini Indonesia menutup tahun bencana paling parah selama 1 dekade terakhir, klaim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hingga kini tercatat 4.231 korban meninggal dunia dan hingga 3 juta penduduk terpaksa mengungsi menyusul 2.426 bencana alam yang terjadi di sepanjang tahun.
Bencana di Palu dan Donggala tercatat sebagai yang paling mematikan. Tercatat 2.256 orang meninggal dunia dan lebih dari 1.000 orang masih dinyatakan hilang. Kebanyakan korban hilang diyakini tertimbun tanah akibat fenomena likuifaksi yang melumerkan lapisan teratas tanah dan menelan bangunan di atasnya.
Terakhir tsunami Selat Sunda yang dipicu longsor bawah laut dari gunung Anak Krakatau menewaskan sekitar 430 orang, sementara 159 lainnya masih dinyatakan hilang. Peristiwa ini tergolong langka dan sulit diprediksi. Akibatnya hingga ombak menggulung kawasan pesisir, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) belum mengeluarkan peringatan dini bahaya tsunami.
Terkini.id – Sepanjang tahun 2018, isu stratejik nasional diwarnai berbagai peristiwa baik yang berdimensi sosial, ekonomi maupun politik, yang mana perlu menjadi perhatian dalam mengefektifkan kesinambungan pembangunan.
Kini, negara harus dipastikan bahwa isu menonjol seperti bencana alam, pemanfaatan sumber daya alam, dan stabilisasi politik penting untuk menjadi bahan “assessment”, sekaligus untuk menentukan opsi-opsi kebijakan akan datang yang bernilai tinggi bagi perbaikan kesejahteraan, keadilan dan keamanan nasional.
Dalam dimensi sosial, tantangan terbesar yang dihadapi selama 2018 adalah banyaknya bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami yang merenggut nyawa ribuan orang. Tahun ini seperti jadi tahun penuh duka bagi bangsa Indonesia mengingat banyaknya bencana massif mencakup kecelakaan transportasi udara dan laut yang menjadi catatan kelam sekaligus peristiwa yang sangat mematikan.
Dari sejumlah bencana yang mematikan itu, tentu memang tak bisa terelakkan. Upaya manusia hanya bisa menghindar dengan menjaga kelestarian alam dan mengembangkan teknologi untuk mengantisipasi apabila bencana akan terjadi lagi. Namun, bencana alam ini menjadi ancaman “nyata” yang bisa diantisipasi dengan baik sehingga tak menelan banyak korban jiwa.
Mengutip pendapat Nasrudin Joha bahwa dengan melihat kondisi bangsa dan Problematika keumatan yang tidak pernah kunjung reda dengan pola penyelesaian politik pemilu, Pilkada maupun Pilpres, umat seharusnya berfikir out of the box. Kungkungan wacana pemilu dan Pilpres yang dianggap sebagai solusi perubahan bagi umat, harus ditinjau ulang untuk diganti dengan solusi yang lain.
Seruan perjuangan penerapan syariah Islam yang diterapkan melalui sistem Khilafah wajib menjadi alternatif solusi bagi umat karena Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh syara’ sehingga, menegakkannya, selain mendapat pahala bagi yang melaksanakannya juga terdapat ancaman dan dosa bagi siapa saja yang mengabaikannya.
Secara historis Khilafah telah terbukti eksis lebih dari 13 abad memberikan pelayanan dan penghargaan terhadap umat manusia di seluruh dunia. Khilafah, sepanjang sejarahnya telah nyata memberikan kemaslahatan menyeluruh bagi umat manusia, baik muslim maupun non muslim, baik yang tinggal di daulah Khilafah maupun yang tinggal di darul harbi.
Dengan demikian di tahun 2019 selayaknya umat fokus dan lebih giat berjuang mewujudkan perubahan hakiki. Yakni dengan mengajak umat mencampakkan sistem sekuler demokrasi dan menerapkan hukum Allah dalam naungan khilafah yang dijamin akan mengundang kebaikan dan keberkahan. Walllahu a'lam bishshawab.