Mengkritisi RUUP-KS (Penghapusan Kekerasan Seksual)

Oleh Yusi Wulandari - member Akademi  Menulis Kreatif


Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat setiap dua jam, ada 3 perempuan Indonesia yang mengalami kekerasan.


"Tahun 2012, kita sudah sampaikan ke publik dalam 10 tahun, 2001 hingga 2011 ternyata di Indonesia itu setiap hari 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual," kata Komisioner Komnas Perempuan, Azriana, di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat, 23 November 2018. (https://nasional.tempo.co/read/1149125/darurat-kekerasan-seksual-dan-pembahasan-ruu-pks-yang-lambat)


Permasalahan di negeri ini begitu pelik, hampir di semua sektor terjadi masalah dan semuanya belum juga terselesaikan dengan baik. Dari permasalahan yang ada diantaranya adalah kekerasan seksual yang korbannya kebanyakan dari kaum hawa. 


Berbagai upaya penyelesaianpun terus dilakukan, diantaranya pengajuan Rancangan Undang-undang Pemberantasan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) pada tahun 2017 kepada Komisi Agama dan Sosial atau Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat. Hanya saja pembahasan RUU ini terkesan jalan di tempat. Baru di tahun 2019 ini RUU-PKS rencananya akan disahkan.


RUU ini berpandangan bahwa yang berhak mengontrol tubuh perempuan adalah perempuan itu sendiri. Perempuan bebas dari kejahatan seksual. Bahkan perempuan harus diberikan kekuatan hukum untuk melindungi dirinya.


Sekilas RUU ini terkesan sangat bagus. Hanya saja ada ruang kosong yang seolah-olah sengaja diciptakan sehingga akan mudah dimasuki oleh 'penumpang gelap' yaitu tidak adanya pengaturan tentang kejahatan seksual terkait hubungan seksual yang melanggar norma susila dan agama.


Sebagai rakyat kita wajib mengkritisi isi dari RUU-PKS ini sebagai kontrol terhadap para pembuat kebijakan agar tidak asal pukul palu. RUU-PKS begitu manis tapi jika kita cermati RUU ini hanya fokus pada permasalahan "kekerasan" saja sehingga aborsi, pelacuran, perzinahan, LGBT, dan perilaku seksual lainnya jika tidak ada kekerasan didalamnya maka ia tidak akan terjerat RUU-PKS.


Misalnya, pasal 7 ayat 1 menyebut adanya hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang, agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat. Jadi, ia bebas berlaku seksual dengan siapa saja, tidak dibatasi dalam lembaga pernikahan.


Sebaliknya, di lembaga pernikahan tubuhnya dianggap dikendalikan oleh pasangan. Khususnya suami. Jadi, kalau melakukan hubungan seksual tanpa ada pemaksaan melainkan suka sama suka, maka tidak dianggap "kekerasan seksual." Tapi kalau suami ada unsur memaksa hubungan dengan istri, bisa dipidana.


Di pasal 5 ayat 2 huruf f yang menyatakan termasuk kekerasan seksual adalah perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh, seksualitas dan/atau organ reproduksi sebagai sasaran. 


Artinya orang yang melarang dan mengingatkan perilaku penyimpangan seksual (LGBT), bisa dilaporkan sebagai perbuatan "kekerasan seksual". Termasuk orang tua yang melarang anaknya melakukan seks bebas dan zina maka orang tua bisa dipidanakan dan dimasukkan kedalam penjara karena melanggar undang-undang ini.


Kekerasan seksual yang semakin marak adalah tidak dijalankannya syariat Islam untuk mengatur interaksi sosial masyarakat, diperparah dengan diterapkannya sistem demokrasi sekuler. Karena dalam sistem demokrasi-sekuler ada 4 kebebasan yang di lindungi oleh undang-undang, diantaranya kebebasan bertingkat laku. Dari sini kemudian orang bisa berbuat sesuka hati mereka, semisal mengumbar aurat. Di zaman ini, konten pornografi sangat mudah dicari, bahkan tanpa diminta konten-konten porno tersebut akan mendatangi kita. Sedangkan undang-undang tentang pornografi dan pornoaksi sangat lemah.


Upaya menghentikan kekerasan seksual dengan menggunakan sistem demokrasi sekuler ibarat mengaduk comberan, makin keruh dan makin bau. Maka kita sebagai kaum muslimin harus berhati-hati terhadap kebijakan yang lahir dari pemikiran sekulerisme. 


Oleh karena itu kita butuh sistem yang mampu menyelesaikan problematika yang ada, termasuk didalamnya masalah kekerasan seksual. Ialah syari'at Islam yang mampu menyelesaikan permasalahan manusia secara tuntas. Dan syariat Islam tak akan bisa dijalankan dalam sistem demokrasi sekuler. Syariat Islam hanya akan bisa dilaksanakan dengan maksimal oleh institusi yang mampu menjaganya yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah.


Wallahu A'lam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak