Oleh : Rosmita (Aktivis Akademi Menulis Kreatif)
Menjelang Pemilu 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelenggarakan Debat capres-cawapres dengan harapan rakyat bisa lebih mengenal sosok calon pemimpinnya kelak. Melalui acara ini rakyat dapat mengetahui visi dan misi serta kafabilitas dari capres dan cawapres yang akan memimpin negeri ini. Sehingga rakyat bisa menilai capres dan cawapres sebelum menentukan pilhan yang tepat.
Namun faktanya bagaimana rakyat bisa memberikan penilaian jika sebelum debat KPU sudah terlebih dahulu memberikan kisi-kisi soal debat sehingga capres dan cawapres dapat membawa contekan saat menjawab pertanyaan dari juri. Dan yang pasti jawaban yang diberikan bukan berasal dari hasil pemikiran capres dan cawapres tersebut.
"KPU sudah banyak dikritik publik soal debat, pembocoran visi misi. Sekarang orang menuntut banyak kepada Mendikbud supaya ujian dibocorkan soalnya. Ini kan sudah enggak layak. Saya kira debat ini tidak akan menarik. Karena bukan debat lagi. Ini adalah ngobrol. Mengklarifikasi atas pertanyaan," ujar Ketua Seknas Prabowo-Sandiaga Uno, Muhammad Taufik kepada wartawan, Minggu (13/1/2018) (tribunnews.com)
Belum lagi dana yang sangat besar harus dikeluarkan oleh negara untuk menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun sekali. Terutama pada pemilu tahun ini biayanya meningkat tajam.
Seperti dilansir dari Bbc.com- Biaya penyelenggaraan Pemilu 2019 ini dianggarkan sebesar 24,8 triliun rupiah. Ini meningkat sekitar 700 miliar dibandingkan Pemilu 2014, yang diselenggarakan dengan biaya 24,1 triliun. Namun Pemilu tahun 2014, hanya Pemilu legislatif. Kali ini dilangsungkan serentak dengan pemilihan Presiden dan wakil presiden. (24/9/2018)
Dalam sistem demokrasi memilih pemimpin tak ubahnya seperti ajang pemilihan artis idol dan ceremonial. Dana yang besar untuk penyelenggaraan pemilu tak berbanding lurus dengan hasil yang didapat karena kepemimpinan yang diperebutkan hanya untuk melanjutkan kerusakan sistem sekuler. Faktanya sudah berkali-kali negeri ini ganti pemimpin, tapi tidak ada perubahan yang berarti. Kekayaan alam negeri ini tetap dikuasai oleh asing, rakyat miskin makin bertambah karena sulitnya lapangan kerja, sementara biaya hidup semakin tinggi.
Jika sistem yang diterapkan adalah sistem rusak, maka akan menghasilkan pemimpin yang rusak pula. Karena hukum yang digunakan bukan hukum Allah melainkan hukum buatan manusia yang dibuat berdasarkan kepentingan pejabat dan para kapitalis bukan kepentingan rakyat. Alhasil siapapun pemimpinnya, rakyat tetap akan sengsara.
Berbeda dengan dengan sistem Islam, pemilihan pemimpin sangat simpel tak perlu mengeluarkan banyak biaya. Begitu juga dengan pemimpin yang dipilih haruslah yang memenuhi syarat sebagai pemimpin, sanggup menerapkan syari'at Islam secara keseluruhan, dan memiliki kafabilitas mengurus rakyat. Bukan sekedar janji manis belaka untuk meraup suara.
Jika dalam sistem demokrasi, kepemimpinan hanya bernilai duniawiyah semata dan tanggung jawabnya hanya sebatas antara pemimpin dengan rakyatnya. Namun dalam Islam, kepemimpinan berdimensi dunia akhirat. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya kelak diakhirat. Sehingga bisa dipastikan seorang pemimpin dalam sistem Islam adalah orang yang amanah dan bertanggung jawab penuh terhadap urusan rakyat.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam (kepala Negara) adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya." (HR. Bukhori)
Wallahu a'lam bishowab.