Oleh: Kunthi Mandasari
(Member AMK Regional Jatim)
Tahun 2018 ditutup dengan duka. Gelombang tsunami pada Sabtu malam tanggal 22 Desember 2018 menerjang pesisir selat Sunda. Sampai saat ini setidaknya ada 437 korban tewas yang terdata. Tidak menutup kemungkinan jumlahnya akan bertambah. Belum lagi kerusakan dan kerugian yang diakibatkan bencana tersebut.
Tsunami biasanya hadir setelah adanya gempa, namun tsunami yang terjadi di Banten serta Lampung berbeda karena tidak ada tanda-tanda seperti di Palu maupun di Aceh. Apalagi kejadiannya tepat diwaktu malam yang gelap. Ditambah lagi tidak ada peringatan dini sebelumnya.
Wilayah Indonesia terdiri dari pulau-pulau, sehingga bisa dikatakan bahwa wilayah Indonesia rawan terhadap tsunami. Terutama pantai barat Sumatera, Pantai selatan pulau Jawa, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya dan hampir di seluruh pantai di Sulawesi. (liputan6.com, 24/12/2018).
Selain itu Indonesia berada dalam kawasan ring of fire. Rentetan gunung berapi yang ada di bumi. Menurut para ilmuwan kawasan yang berada di daerah tersebut lebih sering mendapatkan gempa bumi.
Dari sekian banyak wilayah Indonesia yang tersebar di sepanjang pantai, hanya beberapa yang memiliki alat deteksi tsunami. Namun sayangnya sejak 2012 alat tersebut tidak berfungsi karena keterbatasan biaya. Sebagaimana disampaikan Sutopo Purwo Nugroho selaku Kepala Pusat Data dan Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di kantor BNPB, "Jadi enggak ada buoy tsunami di Indonesia, sejak 2012 buoy tsunami sudah tidak ada yang beroperasi sampai sekarang ya tidak ada," (news.detik.com, 30/12/2018).
Tentu pernyataan ini membuat semakin miris karena kelalaian negara sebagai penjaga, sehingga ada banyak nyawa yang melayang sia-sia. Negara Jepang yang hanya seukuran Jawa Barat telah memiliki 1.000 alat deteksi. Sedangkan Indonesia yang memiliki luas berkali-kali lipat lebih besar hanya memiliki ratusan sensor saja. Bisa dibilang kesiapan Indonesia dalam menghadapi bencana tsunami masih sangat minim.
Apalagi yang selalu dijadikan alasan adalah keterbatasan biaya. Sangat tidak masuk akal, mengingat Indonesia merupakan Negari yang kaya raya. Namun karena penggunaan sistem demokrasi justru menjadi musibah. Karena kepemilikan kekayaan alam diserahkan pada swasta dan asing sehingga tak ada pemasukan kecuali dengan cara memalak rakyat melalui pajak. Belum lagi jerih payah rakyak melalui pajak justru korupsi yang sampai saat ini belum teratasi.
Mitigasi bencana yang sangat minim merupakan bukti kegagalan sistem yang diterapkan di negeri ini. Ditambah lagi belum adanya standar mitigasi seperti yang ada di Jepang, Australia atau Amerika Serikat.
Pada dasarnya bencana tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Sehingga perlu pengelolaan secara menyeluruh baik pada masa sebelum, pada saat terjadi serta setelah kejadian bencana. Diperlukan manajemen khusus untuk penanganannya.
Allah SWT berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 200)
Dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman: "Demikianlah (para rasul diutus) karena Tuhanmu tidak akan membinasakan suatu negeri secara zalim, sedang penduduknya dalam keadaan lengah (belum tahu)." (QS. Al-An'am 6: Ayat 131)
Bahwasanya Allah memperintahkan agar orang-orang yang beriman untuk selalu bersiaga. Memiliki perencanaan kesiapan dan kemampuan untuk memperkirakan, mengurangi dampak, penanganan secara efektif, serta melakukan pemulihan diri dari dampak bencana. Dan jika memungkinkan dapat mencegah bencana itu sendiri.
Melalui pengelolaan Sumber Daya Alama (SDA) yang dilakukan secara mandiri sehingga bisa menyokong pembiayaan riset terhadap setiap wilayah yang memiliki potensi bencana. Sehingga bisa melakukan pemetaan wilayah serta membuat perencanaan baik standar pembangunan, zonasi rawan bencana, analisis kerentanan serta edukasi publik.
Hanya melalui penerepan syariah secara kaffah yang mampu melahirkan pemimpin yang bertaqwa serta meliki empati tinggi. Sebagaimana Umar bin Khatab yang menangis dan terpukul sebab keledai yang terperosok ke dalam jurang. Karena jalan yang dilewatinya rusak dan berlubang. Jika seekor keledai saja mampu membuat Umar menangis apalagi nyawa umat yang dipimpin. Sedangkan kedudukan nyawa seorang muslim sangat berharga dalam pandangan Islam.
Sudah seharusnya kita mencampakkan sistem yang rusak ini. Kemudian beralih pada sistem yang mumpuni yakni syariah Islam. Dengan cara menerapkan di atas muka bumi ini.