Oleh: Risma Choerunnisa, S. Pd.
(Pengajar di MTs Manba’ul Huda Bandung)
Al Quran sejatinya merupakan pedoman hidup bagi seluruh manusia. Namun, keberadaannya kini semakin terkikis oleh system buatan manusia yang semakin enggan menerapkan aturan-aturan di dalam Al Quran untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Seperti yang baru-baru ini ramai diperbincangkan. Mengenai tes baca Al Quran bagi kedua pasang calon presiden dan calon wakil presiden Indonesia, yang diusulkan oleh Ketua Dewan Pimpinan Ikatan Dai Aceh, Tgk Marsyuddin Ishak. Hal itu disampaikan pada konferensi pers bertemekan Akhiri Polemik Keislaman Capres dan Cawapres dengan Uji Baca Al Quran, di Banda Aceh (Merdeka.com, 30/12/2018).
Hal ini mengundang berbagai reaksi, baik dari masyarakat biasa ataupun dari tim sukses masing-masing paslon. Seperti yang diungkapkan Ridlwan Habib, peneliti radikalisme dan gerakan Islam di Jakarta, Menurutnya, tes baca al Quran bagi seorang calon pemimpin yang beragama Islam sangat wajar dan sangat demokratis. Justru publik makin tahu kualitas calonnya dan kemampuan membaca Al Quran ini menambah kepercayaan atau rasa percaya diri dari masing-masing kelompok pemilihnya (Tribunnews.com, 30/12/2018).
Lain halnya dengan apa yang diungkapkan oleh Sodik Mudjahid selaku Juru Debat BPN (Badan Pemenangan Nasional) Prabowo-Sandiaga. Dia menilai bahwa tes baca tulis Al Quran tidak perlu dilakukan oleh kedua paslon capres dan cawapres. Menurutnya, yang lebih penting adalah pengamalan nilai kitab suci dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Okezone, 30/12/2018).
Hampir serupa dengan tanggapan dari BPN Prabowo-Sandiaga, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Hajriyanto Thohari pun mengatakan bahwa prasyarat formal calon pemimpin tak perlu dikembangkan lebih lanjut. Sebab, syarat formal menjadi pemimpin Indonesia sudah diatur ketat dalam UUD 1945 dan UU tentang Pemillu (Merdeka.com, 30/12/2018).
Tanggapan lain juga muncul dari Amien Rais. Mantan Ketua MPR itu menilai tes baca Al Quran lebih cocok jika diterapkan untuk profesi yang lebih terkait. "Kalau untuk (memilih) pimpinan pondok pesantren boleh lah ya," ujarnya. Amien sangsi jika orang yang hafal Al Quran otomatis perilakunya akan sesuai ilmu yang dimiliki. Yakni sesuai ajaran Al-Quran.
"Sebab banyak juga orang yang hafal Al Quran tapi perangainya seperti orang tidak beriman, jadi itu bukan ukuran," ujarnya (Tempo.co, 01/01/2019).
Berdasarkan pemaparan di atas, ide tes baca Al Quran bagi kedua paslon capres dan cawapres menjadi salah satu bukti bahwa dalam sistem demokrasi, Al Quran hanya jadi alat permainan politik untuk memenangi persaingan di satu sisi dan keberadaannya dianggap tidak penting di sisi lain. Tes ini semakin memperkuat bahwa citra mereka di hadapan manusia lebih penting dibandingkan citra mereka di hadapan Allah. Padahal, seorang pemimpin selayaknya harus mampu menerapkan aturan Allah secara sempurna dan menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan dan itu tidak bisa diukur dari bisa tidaknya atau lancar tidaknya dia membaca Al Quran. Karena jika hanya membaca, anak TPA pun bisa membaca Al Quran.
Akan tetapi, yang lebih penting, sekali lagi, adalah sejauh mana dia mau dan mampu menerapkan seluruh aturan Allah di negara yang dia pimpin. Sehingga Al Quran tidak lagi digunakan sebagai alat untuk pencitraan agar mendapat banyak sipmati dan dukungan suara di pemilihan nanti, tapi dia akan kembali ke fungsi utamanya lagi. Karena Al Quran adalah wahyu Allah sekaligus petunjuk hidup yang wajib atas seluruh kaum muslim untuk mengamalkan isinya dengan kaffah.
Saatnya umat mencampakkan sistem sekuler demokrasi yang menempatkan hukum Allah secara tidak selayaknya dan segera beralih pada Khilafah yang sesuai metode