Oleh: Messy (Aktivis Mahasiswa)
Tampaknya keberadaan pemilih muslim masih diperhitungkan dalam pemilu capres tahun ini. Setiap calon berusaha mencitrakan diri sebagai pemeluk muslim yang taat dan patuh dengan ajaran yang tertuang dalam Islam. Seperti sering melakukan pertemuan dengan ulama dan kunjungan terhadap pesantren-pesantren. Berawal dari sini muncul inisiatif dari Dewan Ikatan Dai Aceh mengundang capres untuk melakukan uji tes baca al-qur’an.
Hal ini tentu menuai pro dan kontra ditengah masyarakat,baik itu masyarakat biasa maupun dari tim sukses masing-masing capres. Peneliti Radikalisme dan Gerakan Islam, Ridwan Habib mengungkapkan bahwa tes baca al-qur’an bagi pemimpin yang beragama Islam sangat wajar dan sangat demokratis. Justru publik menjadi semakin tahu kualitas calonnya dan kemampuan membaca al-qur’an. Sehingga menambah kepercayaan atau rasa percaya diri dari masing-masing kelompok pemilihnya, Jakarta, 30/12 dikutip dari Tribunnews.com.
Hajriyanto Thohari selaku Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf mengatakab bahwa prasyarat formal calon pemimpin tak perlu dikembangkan lebih lanjut. Sebab, syarat formal menjadi pemimpin Indonesia sudah di atur ketat dalam UUD 1945 dan UU tentang pemilu yang dikutip dari Merdeka.com. pada tanggal (3012).
Berbeda halnya dengan apa yang dikatakan Juru Debat Badan Pemenangan Nasional Probowo-Sandiaga yang dikutip melalui Okozone pada tanggal (30/12). Ia mengatakan bahwa tes baca tulis al-qur’an tidak perlu dikalukan oleh kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Baginya, yang lebih penting adalah pengamalan nilai kitab suci dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Al-qur’an Dijadikan Sebagai Batu Loncatan
Dalam sistem demokrasi, al-qur’an hanya dijadikan sebagai batu loncatan bagi para pemilik kekuasaan. Tak sekedar itu, al-qur’an dijadikan alat permainan politik untuk memenangi persaingan. Isi yang terkandung didalam al-qur’an diambil jika sesuai dengan kepentingan penguasa, jika tidak al-qur’an seakan dilupakan begitu saja. Al-qur’an hanya sekedar dibaca, namun tidak diterapkan isi yang terkandung didalam al-qur’an secara menyeluruh melainkan hanya beberapa saja yang sesuai dengan pesanan penguasa.
Al-qur’an seakan menjadi sia-sia jika terpilih menjadi pemimpin kebijakan yang dibuat sesuai dengan keinginan asing dan aseng. Tak berpihak kepada rakyat sama sekali malah menyengsarakan mereka. Memusuhi para ulama, mengkriminalisasikan ormas Islam dan melindungi para penista agama. Mengabungkan antara kebenaran dengan keburukan, jauh dari apa yang diajarkan didalam al-qur’an. Seperti inilah perlakuan sistem demokrasi dalam memperlakukan al-qur’an. Menyedihkan, sebab al-qur’an hanya sekedar dijadikan batu loncatan untuk memenangkan kekuasaan.
Al-qur’an, Mulia Dengan Sistem Islam
Dalam Islam, al-qur’an adalah way of life atau jalan hidup yang keberadaannya tak sekedar hanya dibaca namun juga diterapkan seluruh isi yang terkandung didalam al-qur’an secara total dalam kehidupan. Selain itu, al-qur’an juga dijadikan sebagai pendoman dan petunjuk bagi seluruh manusia (muslim dan non muslim). Al-qur’an dijadikan sebagai solusi tuntas dari seluruh permasalahan yang ada.
Seorang pemimpin selayaknya harus mampu menerapkan aturan Allah secara sempurna dan itu tidak bisa diukur dari bisa tidaknya atau lancar atau tidaknya dia membaca al-qur’an. Akan tetapi, yang jauh lebih penting bagaimana dia mau dan menerapkan aturanAllah di negara yang dia pimpin. Mengembalikan fungsi utama al-qur’an sebagai wahyu Allah SWT.
Memang benar, sebagai seorang muslim kita dituntut harus bisa membaca al-qur’an sesuai dengai kaidah-kaidahnya. Namun, ada kewajiban yang jauh lebih penting yaitu memahami kandungannya dan menerapkan seluruh isinya.
Saatnya umat mencampakkan sistem buatan manusia yang jelas rusak dan menyengsarakan umat. Segera menerapkan hukum Allah dalam bingkai negara Islam yang akan menerapkan seluruh isi yang terkandung didalam al-qur’an dalam kehidupan. Maka dari itu, perlu bagi kita berjuang bersama menjadi al-qur’an membahana di seluruh pelosok negeri. Allahu Akbar.