Oleh : Ummu Aqeela
BPJS ( Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ) adalah Lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan progam jaminan sosial di Indonesia menurut Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011. Berdasarkan Undang Undang tersebut BPJS akan menggantikan sejumlah lembaga sosial yang ada di Indonesia yaitu lembaga jaminan asuransi kesehatan PT Askes menjadi BPJS kesehatan dan lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Lembaga ini berkantor pusat di Jakarta dan bertanggung jawab penuh terhadap presiden. Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS, ini sesuai peraturan UU BPJS pasal 14. Dari bukti kepersertaan BPJS akan diwakilkan oleh sebuah kartu yang digadang-gadang bisa menjamin kesehatan setiap warga atau rakyat Indonesia.
Seiring berjalannya waktu kartu yang dianggap sakti oleh segelintir orang tersebut menemui berbagai macam masalah. Sudah lebih dari enam tahun UU BPJS ini berlaku, namun dipandang mengkhwatirkan oleh sebagian kalangan karena saat ini BPJS Kesehatan mengalami defisit keuangan. Menteri kesehatan RI, Nila F Moeloek ikut berbicara, menurutnya masyarakat perlu menjaga kesehatan untuk membantu BPJS Kesehatan mengurangi biaya pengobatan. ( Republika.co.id, 19 oktober 2018 ). Dengan begini rakyat kembalilah yang harus menanggung beban dan dipersalahkan atas kejadian diatas. Defisit yang dialami pun seolah-olah adalah karena ulah rakyat itu sendiri. Tanpa mereka sadar bahwa derita rakyat yang sakit semestinya adalah menjadi tanggungan pemerintah 100% tanpa rakyat harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Berbanding terbalik dengan layanan BPJS kesehatan ini, rakyat yang menggunakan dengan membayarnya namun ketika bermasalah rakyat pula yang terkena getahnya.
Inilah ketika liberalisme dan kapitalisme berperan begitu besar dalam kehidupan bernegara. Urusan untung dan rugi serta materi menjadi patokan utamanya. Kesehatan rakyat pun hanya tergadai di selembar kartu yang itupun dari hasil keringat mereka sendiri untuk membayar premi perbulannya. Kesehatan dan perawatan umat yang dibawah otoritas negara seharusnya tidak dinilai berdasarkan anggaran tahunan atau aspirasi politik untung rugi melainkan adalah hak-hak yang wajib diberikan kepada mereka, meskipun tanpa mereka memintanya apalagi dengan membayarnya. Nabi SAW bersabda : “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab penuh akan rakyat yang dipimpinnya”. ( Bukhari dan Muslim )
Dalam Islam penguasa bertanggung jawab penuh untuk mengelola urusan rakyat, salah satunya adalah menyediakan layanan kesehatan secara cuma-cuma. Ketika Nabi SAW menjabat sebagai Kepala Negara di Madinah dihadiahi seorang dokter untuk menjaga kesehatannya, namun dokter tersebut beliau tugaskan ditengah-tengah umat. Ini membuktikan bahwa kepentingan umat lebih diutamakan dibanding kepentingan penguasa itu sendiri. Berbeda dengan kapitalis, sistem islam memandang penyediaan fasilitas kesehatan untuk rakyat adalah dari segi kewajiban bukan dari ekonomi yang dipandang untung dan ruginya. Sistem islam menyediakan sarana kesehatan yan berkualitas dan memadai demi melaksanakan tugasnya mengurus umat dan memfasilitasi dalam ketaatan kepada Allah SWT. Tidak ada satupun syariat yang mengayomi umat secara adil selain Syari’at Islam, syari’at yang Allah lah menjadi rujukannya.
Wallahu’alam bishowab.