Oleh: Nursiyati, A.Md.Komp (Pengajar)
Kemaksiatan demi kemaksiatan terus terjadi di dunia khususnya di Indonesia, tiap hari masyarakat di suguhkan dengan berita telah terjadi kemaksiatan di mana-mana baik di sekitar kita maupun dalam lingkungan yang lebih besar, dan itu menimpa dan melanda kaum muslim baik di lakukan oleh manusia itu sendiri maupun di lakukan secara terorganisasi.
Baru-baru telah terjadi kemaksiatan yang menyita perhatian masyarakat Subdit Siber Ditreskrimsus Polda Jawa Timur mengungkap kasus prosititusi online yang melibatkan dua artis ibukota di Surabaya pada Sabtu (5/1). Dalam kasus tersebut, polisi mengamankan lima orang yang terdiri dari artis berinisial VA dan foto model berinisial AS, satu asisten, dan dua mucikari.
Artis VA tersebut diperkirakan mendapat bayaran Rp80 Juta dari pelayanan yang diberikan kepada pelanggannya. Sementara foto model berinisial AS disebut-sebut mendapatkan bayaran Rp25 juta untuk sekali kencan. Direktur Kriminal Khusus Polda Jatim Kombes Pol. Ahmad Yusep Gunawan mengungkapkan, kedua tersangka biasa mempromosikan artis dan selebgram melalui akun instagram-nya, terkait jasa layanan prostitusi. Yusep pun menduga, banyak artis dan selebram yang terlibat dalam prostitusi online tersebut (Republika,19/01/18)
Sungguh di sayangkan hal ini terus terjadi di negara kita yang nota bene penganut agama Islam terbesar yang harusnya menjunjung tinggi nilai moral yang bisa di terapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat di pastikan bahwa fenomena yang di kenal dengan istilah saling membutuhkan antara sang penjual dan pembeli seks terus ada sampai sekarang, dan malah makin merajalela menggunakan media-media yang makin kekinian.
Negara Indonesia sebagai penganut Demokrasi justru malah membiarkan hal ini terus terjadi dan demokrasi pengagung kebebasan, tidak akan serius menyelesaikan kemaksiatan (termasuk perkara prostitusi online) karena di dalam sistem demokrasi tercakup hal-hal yang malah membiarkan seseorang untuk berperilaku menurut kehendaknya tanpa memperdulikan norma-norma agama yang di anut oleh individu dan masyarakat tersebut, dan di Indonesia kita dilanda oleh pemahaman ini disamping dengan adanya kesulitan hidup dan ekonomi yang di alami oleh masyarakat menjadikan faktor utama semakin suburnya praktek prostitusi baik secara online maupun yang secara offline.
Dan sangat di sayangkan di Indonesia hukum yang di terapkan bukan hukum bagi semua orang yang terlibat namun justru hanya hukum bagi mucikari (Germo) Seseorang yang diduga melakukan tindak pidana melanggar Pasal 506 KUHP karena telah menarik keuntungan dari perbuatan cabul / persetubuhan wanita dan menjadikannya sebagai mata pencaharian. Sementara jeratan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang (traficking) yang ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara hal ini adalah suatu hal yang berbeda.
Perbedaan perlakuan terhadap penerapan pasal tersebut terletak ada atau tidaknya adanya unsur paksaan saat si pelaku menyuruh korbannya melayani para lelaki hidung belang. Bilamana perbuatan si pelaku tidak dilakukan dengan cara merampas kemerdekaan si korban dan tidak dengan cara paksa menyuruh si korban melakukannya, maka perbuatan si pelaku tidak bisa disebut telah melakukan tindak pidana human trafficking (perdagangan manusia). Dalam hal ini hubungan peristiwa hukum antara si pelaku dan korban dapat dipersepsikan hanya sebatas sebagai hubungan managerial belaka.
Jadi dapat di pastikan bahwa bagi para pelaku baik yang membeli jasa dan memberikan jasa tidak akan mendapatkan hukuman malah bisa di katakan mereka aman yang jadi permasalahan adalah sang mucikari. Miris karena berarti selama tidak ada perampasan namun dilakukan suka sama suka boleh saja dalam sistem demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan sehingga hal ini malah membiarkan praktek ini semakin subur selama masih ada yang menikmati sekalipun memunculkan rusaknya moral secara massif buat masyarakat.
Seharusnya yang dilakukan oleh masyarakat sekarang baik yang muslim maupun yang non muslim yang di hatinya masih ada keinginan untuk memperbaiki masyarakat untuk berhenti berharap pada sistem demokrasi yang antara teori dan prakteknya tidak sejalan malah semakin melenceng karena berharap pada Demokrasi untuk menghilangkan kemaksiatan adalah sangat utopis karena sistem ini justru melindungi para pelaku.
Islam memiliki solusi tuntas dalam menghilangkan kemaksiatan dengan penerapan sanksi yang tegas yaitu penerapan Islam secara Kaffah dalam bingkai Khilafah Minhajjin Nubuwwah. Adalah dengan memastikan semua pihak dalam masyarkat berbangsa dan bernegera turut aktif untuk membasmi kemaksiatan baik yang terkait perzinaan maupun yang lainnya dengan membidik fungsi keluarga sebagai tonggak utama dalam masyarakat agar nantinya menjalankan fungsinya dengan sempurna serta menerapkan sanksi yang tegas bagi pelaku yaitu bagi pezina yang sudah menikah akan dirajam sampai meninggal yang belum menikah akan di cambuk 100 kali dan diasingkan ini dimaksudkan untuk mencegah hal tersebut terulang kembali serta menjauhkan mereka dari ide-ide sesat seperti kapitalisme, liberalisme dan sekulerisme dan negara juga nantinya melarang peredaran miras, narkoba, dan film-film porno. Negara melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap media massa seperti koran, majalah, buku, televisi dan jaringan internet agar tidak menjadi sarana penyebarluasan pornografi dan pemikiran-pemikiran sesat.
Wallahu’alam bishawab