Oleh Nanik Farida Priatmaja, S.Pd
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan permintaan impor gula industri memang terus meningkat setiap tahunnya. Menurut dia, peningkatan volume impor gula industri dipicu oleh permintaan dari industri yang juga tumbuh. Beliau juga memastikan bahwa setiap kebijakan impor selalu didasari oleh kebutuhan industri dalam negeri. Masih menurut beliau lagi, produksi dalam negeri selain kuantitasnya tidak memenuhi kebutuhan, kualitasnya pun tidak bisa diterima oleh industri.(Tempo.com, 11/01/2019)
Melihat berbagai kebijakan yang dilakukan akhir-akhir ini menegaskan bahwa kondisi ekonomi negeri ini sungguh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Indonesia sebelumnya adalah salah satu negara pengekspor gula, namun kini malah menjadi negara pengimpor gula. Dianggap sebagai kemrosotan hal ini mendatangkan berbagai kritik salah satunya dari Faisal Basri. Dikutip melalui twitter pribadinya, Faisal Basri menyebut Indonesia duduk di urutan pertama dengan mengimpor sekitar 4,45 juta metrik ton gula selama periode 2017/2018. Volume ini melebihi impor gula China sebesar 4,2 juta metrik ton dan AS yang mencapai 3,11 juta metrik ton.(CNBS.com, 11/01/2019)
Tidak hanya impor gula saja, Indonesia ternyata juga mengimpor bahan pangan lainnya seperti jagung. Padahal Indonesia negara agraris, yang sangatlah mudah menghasilkan komoditas pangan. Kementerian Perdagangan memastikan Indonesia akan kedatangan 60 ribu ton jagung impor hingga Maret 2019. Jumlah ini diperoleh setelah pemerintah memutuskan menambah impor jagung untuk kebutuhan pakan ternak sebanyak 30 ribu ton, Februari mendatang.(Tirto.id, 01/01/2019)
Pemerintah memutuskan impor bahan pangan seperti gula dan jagung dengan alasan tidak terpenuhinya stok dalam negeri, serta menganggap kualitas barang dalam negeri tidak memenuhi standar internasional. Hal ini tentu bertentangan dengan kondisi sebenarnya, Indonesia adalah negara agraris yang tersedia sangat luas lahan pertanian. Untuk menanam tanaman bahan pokok seperti padi, jagung, tebu, sayuran dan sebagainya seharusnya sangatlah mudah. Jika alasan pemerintah melakukan impor karena tidak tersedianya stok dalam negeri, seharusnya ada solusi lain yang dilakukan dengan tidak mengesampingkan kepentingan rakyat . Misalnya dengan menanam tanaman pangan yang diprediksi mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jika dianggap Kualitas barang dalam negeri seperti gula pasir yang dinilai tidak sesuai standar internasional seharusnya ada upaya pemerintah meningkatkan kualitas gula lokal. Bukankah pabrik gula sangatlah banyak di negeri ini yang masih beroperasi hingga sekarang. Hal ini memerlukan kerjasama yang baik dari pihak pemerintah dan swasta dalam mengelola produksi gula lokal dalam rangka meningkatkan kualitas sesuai standar internasional.
Keputusan pemerintah menjadikan impor sebagai solusi merupakan bukti tidak adanya kemandirian pemerintah negeri ini dalam mengelola negara. Pemerintah berpikir pragmatis dalam memberi solusi permasalahan rakyat. Kebijakan menggantungkan nasib pada negara lain membuat berbagai pihak meradang, karena dianggap dalam negeri masih bisa diupayakan dan terdapat stok melimpah. Hal ini membuktikan bahwa negara gagal melindungi rakyat dalam menyediakan sumber pangan.
Sangat berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam. Sistem Islam mengatur ekonomi yang mensejahterakan rakyat serta mandiri tak bergantung negara lain. Sistem ekonomi Islam tak akan menjadikan impor sebagai solusi utama dalam kelangkaan pangan. Namun akan melakukan perencanaan produksi pangan sebaik-baiknya sehingga tak akan ada kelangkaan pangan. Politik ekonomi negara Islam akan memfokuskan terpenuhi kebutuhan pangan dalam negeri serta berkualitas tinggi. Hal ini karena negara Islam memahami bahwa pemenuhan pangan adalah hak rakyat dan negara wajib menjamin kebutuhan pangan rakyatnya. Tak hanya sekedar kebutuhan pangan, kebutuhan sandang serta tersedianya papan atau tempat tinggal pun dijamin oleh negara. Hal ini hanya mampu terwujud dalam negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam bingkai Khilafah.
Wallahu'alam bishowab