Oleh. Ir. Rini Harini (Direktur Bimbingan Belajar)
Menteri Perhubungan RI, Budi Karya Sumadi mengatakan salah satu prestasi yang berhasil dicapai pada tahun 2018 yang lalu, yakni rampungnya Jalan Tol Trans Jawa yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya. (Tribunnews.com)
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan jalan tol Jakarta-Surabaya salah satu jalan alternatif. Terkait masalah tarif tol Jakarta-Surabaya yang mencapai RP 600.000,-, menurut saya itu tidak membebankan masyarakat. (SINDONEWS.COM)
Faisal Basri lantas mengkritik pembangunan tol di Sumatera dan di pulau Jawa.
"Dibangun jalan tol Sumatera, Jawa-Banyuwangi dengan alasan mempermudah logistik, Masya Allah itu SESAT PIKIR. Karena logistik yang paling murah, efisien dan efektif untuk meningkatkan daya saing di Indonesia adalah transportasi laut, karena ongkos didarat bisa 10x lipat lebih mahal dibanding transportasi laut (Tribun-Medan.com)
Inilah sistem kapitalisme demokrasi. Semua kebijakan demi kebijakan negara di susun berdasarkan keputusan sang pemilik materi.
Mustahil dengan sistem kapitalisme, rakyat bisa menikmati infrastruktur gratis. Karena paradigma berpikir pemerintah dalam pengelolaan infrastruktur adalah bisnis. Setiap bisnis pasti berorientasi pada keuntungan materi.
Oleh karena itu pemerintah selalu berusaha untuk mengurangi beban APBN dalam pembangunan infrastruktur. Akhirnya, mengandalkan investasi asing/swasta sebagai akses permodalan. Tentu saja, tidak ada makan siang gratis dalam sistem yang berkiblat pada materi ini. Ada harga yang harus dibayar.
Hal pertama yang perlu dipahami adalah tidak salah jika pemerintah gencar membangun infrastruktur. Karena, infrastruktur adalah sarana terpenting dalam proses distribusi dan kegiatan ekonomi suatu bangsa. Keadilan, pemerataan pembangunan dan kestabilan harga-harga saling menopang satu sama lain.
Hanya saja, yang menjadi masalah adalah ketika pembangunan infrastruktur tersebut justru membebani rakyat dengan tarif yang mahal. Padahal, seharusnya rakyat berhak menikmatinya secara gratis sebagai bentuk pelayanan publik Negara.
Dengan rampungnya ruas tol trans jawa yang menghubungkan Jakarta-Surabaya sepanjang ±1.000 km tanpa putus, sejak diresmikan pada 20 Desember 2018 lalu, tol ini menghemat waktu tempuh menjadi 10 jam perjalanan. Dibanding melalui jalur darat, dari jalur pantura 1.341 km, jalur lintas tengah 1.197 km, dan jalur lintas selatan sejauh 1.405 km, yang rata-rata menghabiskan waktu 21 jam - 30 jam jika macet parah.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimoeljono mengatakan saat ini belum ada penetapan tarif tol. Masih dalam tahap diskusi dengan pihak-pihak terkait, semisal Badan Usaha Jalan Tol (BUJT), PT. Jasa Marga, PT. Astra, PT. TMJ Jateng dan swasta lainnya. ”Batasannya kan tidak boleh lebih dari 1.000 per km,” ujar Hadimoeljono di Hotel Patrajasa Semarang, Sabtu (Radar Solo, 5/1).
Namun ketika pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan tarif tol trans jawa mencapai Rp600.000 lebih tidak membebankan masyarakat, karena tol hanya jalan alternatif dari jalan arteri, untuk tarif mobil golongan I, semisal mobil MPV keluarga. Lalu bagaimana dengan tarif mobil golongan II dan III ? Tentu, masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam lagi.
Inilah salah satu fakta rusaknya sistem ekonomi kapitalisme. Justru, tarif tersebut sangat membebankan masyarakat. Konsep bisnis yang diadopsi oleh sistem ekonomi kapitalisme ini telah menjadikan rakyat sebagai target marketnya. Karenanya, proyek-proyek infrastruktur sangat digandrungi oleh para investor karena pasar Indonesia sangat menjanjikan. Salah satunya adalah tol trans jawa yang disinyalir menyumbang pemasukan terbesar pada musim mudik lebaran atau hari-hari libur nasional lainnya.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melaporkan utang dari 143 BUMN hingga kuartal III-2018 mencapai Rp 2.488 triliun. Salah satu beban utang tak lepas dari penugasan kepada BUMN dalam membangun infrastruktur. (cnbcindonesia, 4/12/2018)
Sekali pun BUMN sebagai pengelola infrastruktur, namun mereka tidak mandiri soal pendanaan. Perusahan plat merah itu tetap bertopang pada hutang. Baik hutang yang bersifat pinjaman atau investasi.
Akhirnya, untuk mengembalikan hutang-hutang inilah diberlakukan tarif tol yang mahal.
Inilah yang kemudian muncul pertanyaan di tengah masyarakat, sebenarnya pembangunan infrastruktur untuk siapa ?
Jalan tol untuk rakyat atau untuk konglomerat ?
Bagaimana agar infrastruktur dapat dinikmati seluruh rakyat secara gratis, tanpa harus membayar mahal ?
💎💎💎
SOLUSI INFRASTRUKTUR SISTEM ISLAM
Jika sistem kapitalisme menyusahkan rakyat, maka berbanding terbalik dengan sistem Islam.
Infrastruktur di dalam sistem Islam, dibangun untuk kepentingan rakyat. Karena mindset penguasa atau khalifah dalam menjalankan kekhilafahan adalah keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Khalifah sebagai pelaksana hukum-hukum syariah. Sudah tentu orientasi kepemimpinannya bukan untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya, namun semata-mata ingin meraih ridha Allah Azza wa Jalla.
Dengan begitu, khalifah dan para pejabat Negara lainnya akan menjalankan setiap tugas dan fungsinya untuk kesejahteraan rakyat. Khalifah adalah pelindung, pengatur seluruh urusan rakyat, dan perisai bagi rakyatnya.
Atas dasar itulah, maka pengelolaan infrastruktur pun harus didasarkan pada prinsip-prinsip sistem ekonomi Islam yang telah diatur oleh Asy Syari’ (Allah sebagai pembuat hukum). Diantaranya, konsep kepemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan hak milik, dan distribusi.
Maka, proyek infrastruktur ini ada dalam wewenang khalifah. Bagaimana caranya?
Tentunya, harus mengganti sistem ekonomi kapitalisme dengan sistem ekonomi Islam. Tidak bisa ditambal-sulam dengan cara apapun.
Syeikh Abdul Qodim Zallum dalam kitab ‘Sistem Keuangan Negara Khilafah’ merinci infrastruktur menjadi tiga dari sisi kepemilikan.
Pertama, : Infrastruktur milik umum. Ada dua yang masuk ke dalam kategori ini, yaitu;
a. jalan-jalan umum atau sejenisnya sungai, laut, danau, terusan, dan lapangan.
b. Industri milik umum yang memproduksi kepemilikan umum seperti industri penyulingan, pertambangan, dll.
Kedua, Infrastruktur milik negara yang disebut dengan marâfiq.
Marâfiq adalah bentuk jamak dari kata mirfaq, yaitu seluruh sarana yang dapat dimanfaatkan.
Yakni meliputi seluruh sarana yang dapat dimanfaatkan di seluruh wilayah Daulah Khilafah dari pedesaan/hayyu, perkotaan/qosbah, imalah/kabupaten dan wilayah/provinsi. Semisal, jaringan telekomunikasi, administrasi, kelistrikan, sarana transportasi, industri/pabrik khusus industri berat dan militer.
Ketiga, infrastruktur milik individu. Individu boleh membuka infrastruktur untuk tujuan mengembangkan hartanya. Misalnya, modal transportasi umum (bus atau kapal laut), industri senjata ringan sesuai dengan kemampuan modalnya.
Dari sini jelas tergambar bahwa terkait infrastruktur jalan raya termasuk jalan tol atau jembatan menjadi milik umum.
Artinya, sarana jalan raya ini berhak dinikmati secara luas oleh warga Khilafah Islam tanpa terkecuali secara gratis, baik warga muslim maupun non muslim. Karena memang, pembangunan infrastruktur milik umum ini sumber pendanaannya dari kas khusus baitul mal dari pengelolaan harta kepemilikan umum. Pengelolaannya dilakukan oleh Negara, hasilnya untuk kemashlahatan rakyat.
Sama halnya dengan infrastruktur milik Negara, sumber pendanaannya dari harta kepemilikan Negara (Kharaj, ghanimah, Fai’, dll). Pengelolaannya sepenuhnya wewenang Negara. Pihak yang ditunjuk oleh Negara adalah departemen-departemen yang berhubungan langsung di bawah khalifah. Seluruh departemen itu mendapatkan mandat langsung dari khalifah, sumbernya dari baitul mal.
Bagaimana jika kas baitul mal kosong, sementara infrastruktur mendesak segera dibangun? Semisal, jalan yang terputus, sekolah yang ambruk, dll.
Dalam kondisi mendesak seperti ini, Khalifah memberlakukan pungutan pajak bagi kaum muslim laki-laki yang kaya saja. Berlaku hanya ketika dibutuhkan saja, tidak secara terus –menerus seperti dalam sistem demokrasi-kapitalis saat ini. Justru menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama Negara. Adapun, jika pembangunan infrastruktur tersebut tidak mendesak, maka khalifah tidak memprioritaskannya.
Infrastruktur sistem islam ini pernah dicontohkan oleh Khalifah Abdul Hamid II, ketika membangun mega proyek rel kereta api yang menghubungkan Turki Utsmani ke Hijaz- Madinah. Kondisi kas baitul mal defisit, sementara pengadaan rel kereta dirasa sangat mendesak untuk mempermudah akses antar wilayah dalam Khilafah, termasuk perjalanan haji.
Khalifah yang dikenal tegas ini, memungut bantuan dari kaum muslim. Hingga berakhir masa jabatannya, rel kereta api tersebut pun terealisasi dengan berbagai hambatan. Termasuk, menolak mentah-mentah tawaran pinjaman dari Theodore Herzl untuk digantikan dengan tanah Palestina. Artinya, Khilafah sebisa mungkin meminimalisir pembiayaan infrastruktur dari hutang, apalagi dari negera kafir penjajah.
Inilah indahnya sistem Islam yang berlawanan dengan sistem pemikiran kapitalisme yang menyesatkan dalam mengelola infrastruktur oleh rezim gagal dan antek asing maupun aseng. Pembangunan infrastruktur dengan sistem islam untuk kepentingan rakyat, kemudahan layanan, gratis dan bukan dari biaya utang riba.
Ini sesuai dengan sabda Rasul saw :
"Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR.al-Bukhari).