Oleh: Arin RM, S.Si
(Member TSC, Freelance Author)
Kemajuan akan pembangunan fisik adalah kebaikan yang patut diapresiasi. Terlebih jika kemajuan tersebut berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Semuanya adalah tanda bagi baiknya pelayanan penguasa atas amanah pemeliharaan terhadap rakyat nya. Maka tidak berlebihan jika rampungnya jalan tol trans Jawa dibanggakan sebagai prestasi yang luar biasa oleh kementerian terkait (m.tribunnews.com, 06/01/2019).
Namun apresiasi tak berarti hanya sebatas pujian nan membanggakan. Apresiasi boleh disertai dengan kecermatan terhadap objek pujian. Agar apa yang disajikan benar-benar sesuai harapan, bukan manis dipermukaan tapi menyulitkan lagi memberatkan di kenyataan. Terlebih dalam hal pembangunan, yang kerap diistilahkan dengan penyediaan infrastruktur memang ada beberapa hal yang harus diperhatikan lebih detail.
Infrastruktur adalah seluruh fasilitas baik fisik maupun non fisik yang sengaja dibangun oleh pemerintah atau perorangan untuk mendukung terlaksananya kegiatan masyarakat. Infrastruktur publik merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab dan kompensasi dari pembayaran pajak oleh warga negara. Infrastruktur publik sangat penting artinya karena sangat mempengaruhi kelancaran aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Contohnya adalah infrastruktur transportasi (pengertianmenurutparaahli.net, 02/06/2016).
Sebagaimana artikel dari Tribunnews di atas, infrastruktur transportasi berupa jalan tol tampak diutamakan. Namun, jika dikembalikan pada fungsi pengadaan infrastruktur, agaknya pembangunan jalan tol tak sejalan dengan visi pelayanan pada rakyat. Sebab pengadaannya berbasis utang dan untuk memanfaatkannya hanya khusus bagi mereka yang mampu membayar.
Terkait hal ini, benarlah apa yang disampaikan beberapa ustadz berikut.
Ustadz Wahyudi Al Maroky (UWAM) berpendapat: "Jalan Tol itu bukan infrastruktur, anda harus fahami, yang namanya infrastruktur itu membangun dasar struktur perokonomian, bisa di nikmati oleh siapapun. Infrastruktur itu contohnya Jalan Raya dan Jembatan. Itu bisa di nikmati oleh siapapun. Kalau jalan Tol, itu hanya bisa di nikmati bagi yang bayar. Ini namanya ladang bisnis, bukan infrastruktur" (reportaseindonesia.com, 05/01/2019).
Sebagai bukti penyediaan layanan bagi rakyat, memang seharusnya segala hasil pembangunan dapat dinikmati setiap warga negara secara cuma-cuma. Bukan justru dijadikan serba berbayar. Apalagi jika pembayaran tertampung di kantong kapital asing, maka rakyat lah yang sejatinya tetap menderita. Sekedar melewati jalan di negaranya saja mereka harus membayar. Jika tidak sanggup bayar, mau tidak mau harus putar haluan. Tentu jadi lebih jauh dan lebih memberatkan.
Inilah salah satu bahayanya jika urusan publik diserahkan kepada asing pemegang modal. Infrastruktur justru dijadikan tameng pengembangan aset bisnis. Terlebih jika pembiayaan pemodal itu diberikan dalam bentuk utang, maka penggunaan hasil jadinya pasti akan dipengaruhi oleh kepentingan pemberi utang. Hingga muncullah kebijakan pro asing.
Jika demikian keadaannya, bangga atas prestasi pembangunan fisik bermodal utang justru menjadi indikator kegagalan penguasa melayani warganya. Sebab kepatuhan pada asing sebagai konsekuensi utang adalah imbalannya. Dan konsekuensi itu jelas menguntungkan segelintir pemodal, menyusahkan bagi rakyat kebanyakan. Apa yang harusnya diperoleh dengan mudah, murah, bahkan gratis kini harus serba berbayar. Sungguh jauh berbeda dengan konsep pelayanan publik yang dulu dicontohkan di masa kejayaan Islam. Serba lengkap, mudah, dan gratis. [Arin RM].