Oleh : Ummu Hanif (Gresik)
Booming pariwisata. Jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia tiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari adanya lonjakan penerimaan devisa dari sektor pariwisata yang juga terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Menurut Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Pariwisata Indonesia tercatat dari tahun 2013 lalu, devisa negara dari sektor pariwisata mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Tahun 2013 devisa dari kunjungan wisatawan ke Indonesia mencapai angka US$10,05 M, lalu tahun 2014 mengalami kenaikan menjadi US$11,17 M. Ditahun 2015 dari target yang ditetapkan sebesar US$10,47, devisa dari sektor pariwisata justru melampui target dan mencapai angka US$ 12,23 M. Sementara itu tahun 2016 penerimaan devisa pariwisata US$ mencapai US$ 13,57 M. Di tahun 2017 mencapai US$ 16, 8 M. Dan tahun 2018 mencapai US$ 17,6 M.
Lebih dari itu, pada 26 Januari 2019, www.tribunnews.com melansir berita yang perlu mendapat perhatian lebih. Indonesia masuk dalam daftar teratas jadi destinasi negara yang paling santai di dunia. Hasil peringkat ini berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lastminute.com dan meninjau dari berbagai faktor. Mulai dari banyaknya cuti tahunan, faktor polusi suara, faktor cahaya (lingkungan), faktor Hak Asasi Manusia (HAM), budaya, dan banyak lokasi spa atau retreat lainnya.
Melirik wisata Muslim, Indonesia sendiri telah masuk dalam kategori Top 5 Destinasi Pariwisata Halal Dunia dengan penerimaan devisa negara mencapai USD 13 M yang berkontribusi terhadap PDB sebesar USD 57,9 M (UNWTO Highlights, 2016). Maka apabila sertifikat halal dan sertifikat ramah terhadap wisatawan Muslim diupayakan Indonesia, target pemerintah mendapatkan 5 juta wisatawan Muslim dunia diyakini akan tercapai pada 2019.
Karena dinilai sangat menjanjikan secara ekonomi, kementerian pariwisata kini tengah merancang pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata. Di antara 12 Kawasan Ekonomi Khusus, empat diantaranya menjadi KEK pariwisata yaitu KEK Mandalika (NTB), KEK Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), KEK Morotai (Maluku Utara), dan KEK Tanjung Lesung (Banten).
KEK Pariwisata secara khusus akan menjadi objek wisata terintegrasi (integrated area tourism) antara wisata alam, wisata budaya hingga wisata MICE (Meeting, Incentives, Convention, and Exhibitions). Dengan demikian KEK pariwisata diharapkan mampu berkontribusi pada peningkatan PDB, devisa, dan membuka kesempatan kerja (lapangan kerja baru) bagi masyarakat sekitar kawasan.
Dari sini sekilas pengarusutamaan pariwisata mampu menjadi solusi bagi problematika ekonomi yang sedang membelit suatu negara bahkan membelit dunia. Namun perlu diingat, sesungguhnya gagasan pengarusutamaan pariwisata bukan sekadar upaya mengakhiri kemiskinan. Gagasan ini berasal dari lembaga-lembaga internasional di bawah hegemoni negara-negara kapitalis.
Bisa dipahami, jerat hutang lembaga dunia melalui investasi infrastruktur pariwisata. Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia menyepakati pinjaman senilai 300 juta dollar AS atau sekitar Rp 4,1 triliun. Pinjaman ini digunakan untuk pengembangan infrastruktur sektor pariwisata untuk menambah sumber daya domestik besar yang sudah diinvestasikan dalam pariwisata.
Dukungan Bank Dunia bagi pembangunan pariwisata merupakan komponen penting dari Kerangka Kerja Kemitraan Negara Grup Bank Dunia.
Selanjutnya, liberalisasi sosial budaya menjadi ruh penjajahan pariwisata. Tujuannya agar liberalisasi sosial budaya dapat terus berjalan. Terciptanya sosial inclusive melalui pendidikan inklusif untuk melahirkan sosok (Muslim) moderat –yang amat ramah dengan agenda liberalisasi-, melalui interaksi penduduk lokal dengan wisatawan mancanegara -promosi bahasa, kesetaraan gender dan nilai-nilai demokrasi sekuleristik.
Oleh karena itu, untuk melepaskan diri dari penjajahan pariwisata dibutuhkan kesadaran, kemauan, dan kekuatan yang bersifat ideologis dalam diri penyelenggara negara dan masyarakat. Bias ideologi negara yang yang selama ini terbuka pada sosialisme-komunisme dan condong kepada kapitalisme-demokrasi harus dihilangkan. Kembali kepada aturan sang maha pencipta merupakan pilihan utama, untuk terhindar dari bahaya liberalisasi dibalik program pariwisata di negeri ini.
Wallaahu a’lam bish shawab.[]