Oleh Firda Umayah
Jakarta - Ekonom dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengkritik besarnya impor gula yang dilakukan dua tahun belakangan ini. Berdasarkan data statistika, sepanjang tahun 2017-2018 Indonesia mengimpor gula hingga 4,45 juta ton. Tak hanya mengkritik soal volume impor, Faisal Basri juga mempersoalkan tingginya harga eceran gula di Indonesia selama Januari 2017 hingga November 2018. Sebab, harga eceran gula di Indonesia 2,4 hingga 3,4 kali lebih mahal dari harga gula Dunia (tempo.co/10/1/2019).
Tak hanya gula, Indonesia juga akan mengimpor jagung. Kementerian Perdagangan memastikan Indonesia akan kedatangan 60 ribu ton jagung impor hingga Maret 2019. Jumlah ini diperoleh setelah pemerintah memutuskan menambah impor jagung untuk kebutuhan pakan ternak sebanyak 30 ribu ton, Februari mendatang (tirto.id/9/1/2019).
Namun, Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi menampik bila Indonesia tengah membutuhkan impor jagung. Menurut dia, produksi jagung lokal masih dapat mencukupi kebutuhan di daerah-daerah. Bahkan, kata Anton, jumlahnya sedang surplus (tirto.id/9/1/2019).
Hal ini senada dengan apa yang sampaikan oleh Kementerian Pertanian (Kementan). Kementan berhasil mencapai target peningkatan produksi padi dan jagung yang dicanangkan pemerintah. Hal ini bisa terlihat dari data secara nasional sepanjang tahun 2018.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Sumarjo Gatot Irianto meyampaikan, produksi padi tahun 2018 mencapai 83,04 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) atau setara dengan 48,3 juta ton beras. Angka ini tercatat masih surplus dibandingkan dengan angka konsumsi sebesar 30,4 juta ton beras. Begitu juga dengan jagung, pada periode yang sama produksinya mencapai 30,05 juta ton Pipilang Kering (PK), sedangkan perhitungan kebutuhan sekitar 15,58 juta ton PK (iNews.id/12/1/2019).
Melihat polemik impor yang dilakukan pemerintah seakan menunjukkan bahwa pemerintah abai terhadap nasib para petani lokal. Sebab pemerintah masih saja menggantungkan kedaulatan pangan pada kebijakan impor. Pemerintah seakan tak memiliki visi yang jelas tentang kedaulatan pangan.
Kebijakan impor ditengah-tengah peningkatan produksi pangan jelas bukanlah langkah yang tepat jika ingin mensejahterakan rakyat khususnya petani lokal. Kebijakan ini justru sangat terlihat pada pemerintahan yang bernuasa Neoliberal. Sebab, Pemerintah menjadikan dirinya sebagai pebisnis bukan sebagai pelayan rakyat. Sistem ekonomi yang digunakanpun merujuk kepada sistem ekonomi kapitalis.
Dalam sistem ekonomi kapitalis mendapatkan keuntungan materi merupakan perkara mutlak yang harus dicapai. Tak peduli siapapun yang menjalankan ekonomi bahkan termasuk pemerintah akan berusaha mendapatkan keuntungan dari setiap kebijakan yang dilakukan. Tak peduli bahwa kebijakan tersebut akan mensengsarakan rakyat.
Sehingga untuk menghentikan ketergantungan impor pada pangan butuh negara yang memiliki visi jelas. Pemerintah yang berperan sebagai pelayan rakyat serta sistem ekonomi yang adil bukan ekonomi yang pro kapitalis.
Dalam Islam, negara wajib melindungi kepentingan warga negara dan mencegah ketergantungan kepada asing. Negara wajib memiliki langkah yang jelas dalam menyikapi segala permasalahan termasuk dalam perkara impor pangan. Negara wajib memfasilitasi petani lokal untuk dapat meningkatkan produksi pangan. Negara juga wajib menjaga lahan produktif untuk dijadikan sumber produk pangan. Distribusi pangan yang sesuai dengan kebutuhan setiap daerah juga harus dilakukan negara. Negara juga harus memberangus mafia pasar yang sering memainkan peran dalam penjualan hasil produk pangan para petani.
Semua itu hanya bisa dilakukan ketika negara menerapkan sistem Islam secara keseluruhan dalam kehidupan. Sebab, hukum yang ditegakkan oleh negara bukan berdasarkan akal semata. Namun berdasarkan Alquran dan Hadits yang dijadikan sebagai pedoman hidup. Penerapan Sistem Islam melalui hukum-hukum atau syariah Islam dalam kehidupan bernegara akan mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hal ini terbukti dengan kejayaan Islam yang terjadi pada masa kekhilafahan Islam selama lebih dari 13 abad. Wallahu 'alam.
Firda Umayah (Penulis Buku Antologi Catatan Hati Muslimah Perindu Surga)
Ilustrasi google.com