Oleh Rosmiati (Muslimah Pembelajar Islam Kaffah)
Indonesia sejak di masa kolonialisme telah terkenal dengan pabrik gulanya yang tersebar dibeberapa tempat di Pulau Jawa. Banyaknya pabrik yang berdiri menunjukan ramai pula para petani gula yang hari-harinya bercocok tanam dengan tebu-tebuan. Jika dimasa penjajahan dulu hasil gula lokal dibawa ke Eropa (Ekspor), lain halnya dengan kini pemerintah harus mengimpor gula dari negara lain.
Baru-baru ini seorang ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri mengkritik besarnya impor gula yang dilakukan dua tahun belakangan. Melalui Cuitannya, beliau menggambarkan tingginya aktivitas impor gula oleh pemerintah sepanjang tahun 2017-2018. Indonesia pun menjadi negara tertinggi yang mengimpor gula yakni 4,45 juta ton. Bahkan negeri seperti Cina dan Amerika masih berada dibawah Indonesia yakni rata-rata 4,2 juta ton dan 3,11 juta ton. Begitu pula dengan negara lainnya semisal Uni Emirat Arab (2,94 juta ton), Bangladesh (2,67 juta ton), dan Aljazair (2,27 juta ton). (Tempo 10/01/19)
Tidak hanya pada tingginya angka aktivitas impor. Harga jual di pasaran pun melambung tinggi. Pada bulan November lalu misalnya, harga gula di Indonesia mencapi US$ 0,85. Harga yang ternyata melampaui harga gula dunia US$ 0,28. Dengan kurs Rp 14.041 per dolar AS, harga gula di Indonesia kala itu Rp. 11.936 atau tiga kali lipat harga gula dunia Rp 3.932 perkilogram. (Tempo 10/01/19)
Aktivitas impor merugikan petani lokal
Ketika pemerintah gencar melakukan aksi impor pangan baik itu gula maupun produk pertanian lainnya sementara pasokan dalam negeri ada, maka petani-lah pihak yang paling dirugikan. Sebab sangat mungkin terjadi persaingan mutu serta harga di pasaran. Sebagaimana peristiwa di tahun lalu misalnya terkait gula raw sugar yang mana para pengusaha lebih cenderung melirik produk gula dari luar negeri ketimpang membeli hasil produksi petani lokal dikarenakan harga gula impor lebih murah ketimbang gula dalam negeri. Padahal mahalnya harga jual yang ditetapkan oleh petani disebabkan tingginya biaya operasional untuk mengolah gula sebab pemerintah tidak menyediakan akses ini. Hal ini diakui oleh Nasril Bahar seorang Anggota komisi VI DPR. (Okezone 06/08/18).
Bahkan horornya kata beliau, tidak semua hasil tebu petani bisa diproses oleh pabrik gula tanah air. Pasalnya ada beberapa petani yang tebu hasil kebunnya tidak mampu diserap oleh pabrik gula dalam negeri (Tempo 21/10/18).
Tingkatkan produksi Gula lokal dan tinggalkan sistem ekonomi neolib
Tak dipungkiri kualitas gula kita masih kala bersaing ditingkat regional Asia Tenggara. Misalnya Flipina dan Thailand yang mana kualitas gula mereka lebih baik dari Indonesia. Diakui oleh Center For Indonesian Policy Studies (CIPS) hingga pertengahan 2018, tingkat ekstraksi tebu di Indonesia hanya 7,50%. Sedangkan Flipina (9,20%) dan Thailand (10,70%). Padahal ketiga negara tersebut memproduksi gula dalam jumlah yang sama. Agar kualitas gula lokal mampu bersaing dengan gula-gula negara tetangga maka perlu adanya peningkatan nilai rendemen tebu. Pasalnya, Hasil ekstraksi yang rendah dipengaruhi oleh kadar rendemennya. Ungkap ketua CIPS.(Republika 20/10/18)
Selain itu, Hizkia Respatiadi selaku ketua CIPS juga menambahkan bahwa perlu ada peningkatan efisiensi pabrik gula. Maka beliau menilai harus ada upaya nyata dari pemerintah untuk merevitalisasi pabri gula yang ada di Indonesia. Serta memberikan akses kepada petani untuk bisa mendapatkan edukasi terkait cara bercocok tanam yang baik mulai dari pemilihan bibit serta pupuk yang akan digunakan. (Republika 20/10/18).
Selain harus ada peningkatan dari sisi hasil komoditas diperlukan pula tata kelola yang baik. Tentu semua ini akan bermuara kepada sistem. Bahwa sebuah kebijakan yang baik lagi mensejaterahkan hanya mampu lahir dari sistem yang mulia pula. Sebagaimana ungkapan Ustadzah Emilda Tanjung,melalui laman Muslimah News ID bahwa pemerintah saat ini hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator untuk membuat aturan dan regulasi. Sementara pemenuhan hajat hidup rakyat diserahkan kepada pasar. Akibatnya kata beliau, korporasilah yang menguasai seluruh rantai pangan mulai dari produksi hingga konsumsi.
Fenomena inilah yang hari ini terjadi negeri ini. Petani ataupun rakyat lainnya harus berjuang sendiri mengatasi kesulitan hidup. Gaya-gaya sistem ekonomi yang neolib memang kian menjerumuskan rakyat kepada lembah kemiskinan dan kemelaratan.
Islam memandang bahwa pelayanan urusan rakyat harus benar-benar diperhatikan oleh penguasa. Dimana negara harus mampu memperhatikan pemenuhan hajat hidup rakyatnya. Sebab penguasa memiliki 2 peran dalam kepemimpinannya yakni sebagai raain (pelayan) dan junnah (pelindung). Dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya”. (HR. Muslim dan Ahmad).
Bertanggung jawab terhadap urusan rakyat berarti penguasa harus mampu memberikan pelayanan yang baik tanpa pandang bulu. Begitu pula dengan urusan pangan. Mensejahterahkan para petani gula itu harus dilakukan. Jika dengan mengimpor gula justru malah membuat petani terpuruk maka meninggalkannya (impor gula) demi kesejateraan petani itu harus.
Wallahu’alam