Oleh : Dwi Agustina Djati, S.S
(Pemerhati Berita)
TRIBUNJATENG.COM- Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menanggapi bahwa divestasi 51 persen Freeport oleh Indonesia adalah hasil utang. Hal tersebut ia sampaikan melalui akun Twitter Fahri Hamzah @Fahrihamzah yang ia tulis pada Jumat (21/12/18). Fahri menyebut bahwa divestasi 51 persen adalah hasil utang, menurutnya tidak layak jika menyebut bahwa hal tersebut dibayar lunas. Diketahui, Presiden Jokowi menyebut bahwa saham freeport 51 persen sudah lunas dibayar. Hal tersebut disampaikan Jokowi setelah dirinya memanggil jajaran menteri terkait, Direktur Inalum Budi Gunadi Sadikin, dan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson ke Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (21/12/2018). "Disampaikan bahwa saham PT Freeport 51,2 persen sudah beralih ke PT Inalum dan sudah lunas dibayar," ujar Jokowi. Menurut Jokowi, telah resminya 51 persen lebih saham Freeport dikuasai Inalum, maka hari ini menjadi sejarah bagi Indonesia setelah puluhan tahun menjadi pemegang saham minoritas."Ini digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bahwa nantinya pendapatan, baik pajak, non pajak, royalti lebih baik dan inilah kita tunggu," ucapnya. Jokowi menuturkan, persoalan mengenai lingkungan terkait pembangunan smelter Freeport pun telah terselesaikan dan memperoleh kesepakatan. Masyarakat di Papua pun telah mendapatkan 10 persen saham dari Freeport.
Sejak dulu masalah Freeport selalu menjadi polemik. Kontrak karya berjangka 30 tahun sangat merugikan Indonesia. Sumber daya alam berupa emas, perak dan tembaga dikuasai asing. Sedang rakyat Papua sendiri tidak pernah sejahtera hingga kini. Hari ini saat saham PT Freeport dibeli PT Inalum Indonesia sebesar 51% seperti angin segar bagi rakyat. Akankah pembelian saham tersebut akan memberikan dampak pada kas Negara dari sector non pajak? Atau lebih jauh memberikan efek sejahtera bagi rakyat Papua secara langsung dan meredam penyebab separatism? Mari kita analisis bersama.
Mengenal PT Freeport Indonesia
Saham tambang emas Freeport dipegang oleh: (1) Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. (AS) sebesar 81,28 persen; (2) Pemerintah Indonesia memegang 9,36 persen, dan (3) PT. Indocopper Investama memegang 9,36 persen. Tambang ini tidak hanya menghasilkan emas, tetapi juga tembaga, emas, perak, molybdenum dan rhenium. Molybdenum dan rhenium merupakan sebuah hasil sampingan dari pemrosesan bijih tembaga. Freeport-McMoran Copper (AS) atau PT Freeport Indonesia menghasilkan emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 milyar dolar AS. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons. Wajar jika Mining Internasional, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.
Sedangkan Indocopper sendiri merupakan perusahaan asal Indonesia yang memiliki saham sebesar 9,36 persen di PTFI. Saham Indocopper kemudian dibeli 100 persen oleh Inalum (Indonesia Asahan Aluminium) sejak Oktober 2018. Selanjutnya PT inalum inilah yang kemudian membeli 51% saham PT Freeport.
Skema Pembelian Saham Freeport
Dilansir dari detikFinance pada jum’at tanggal 21 Desember 2018 PT Inalum membutuhkan dana sebesar US$ 3,85 mliar atau setara 54 Triliyun untuk menaikkan kepemilikan saham dari 9,36% menjadi 51%. Sedang untuk mendapat dana sekian triliun maka Inalum menerbitkan surat utang global sebanyak US$ 4 Miliar. Sisa dana 4 miliar sebanyak US$ 150 juta digunakan untuk refinancing. Sumber dana Inalum berasal dari bank-bank Internasional seperti BNP Paribas dari Perancis, Citigrup dari Amerika, CIMB dan Maybank dari Malaysia, Standard Chartered Bank dari Inggris dan SMBC Nikko dari Jepang. Membeli saham dari dana pinjaman, bukankah ini seperti buah simalakama. Tiap tahun harus mencicil pinjaman berikut bunga hutang. Lalu apakah mungkin keuntungan tambang emas ini bisa digunakan untuk kepentingan pembangunan jika habis untuk membayar hutang berjangka. Hingga hari ini saja hutang Indonesia sudah semakin besar unutuk pembiayaan proyek infrastruktur.
Tak bisa dipungkiri hingga hari ini sumber pendapatan Negara utama berasal dari pajak. Negara menerima sebesar 581,54 T, dari cukai 71,95 T, dari hibah 3,1 T dan non pajak sebesar 176,83 T pada Juni 2018.. Pajak merupakan komoditas utama dan pertama yang genjot oleh pemerintah dalam pendapatan Negara. Bahkan hingga tahun 2019 penerimaan dari sector pajak terus ditingkatkan. Jika saham PT Freeport dimiliki sebanyak 51% seharusnya pendapatan dari sector non pajak lah yang harus ditingkatkan. Kenyataanya tidak. Pada akhirnya pencaplokan saham sebesar 51% hanya ilusi belaka.
Cengkraman Penjajahan Gaya Baru
Dengan kekuatan uangnya, perusahaan multinasional seperti PT Freeport bisa membeli apapun dan siapapun untuk mempertahankan kepentingannya. Inilah yang membuat perusahaan ini sejak lebih dari 48 tahun bisa bercokol di negeri ini, menguras kekayaan alamnya, dan tak tersentuh. Maka, masalah Freeport tidak mungkin bisa diselesaikan kecuali dengan berdikari secara fundamental. Penjajahan adalah metode baku kapitalisme seperti sang kampiun yakni AS. Sebagai sebuah system kehidupan yang menitikberatkan pada ekonomi sebagai basis kekuatannya, kapitalisme berusaha keras menguasai setiap negeri muslim yang kaya sumber daya dengan segala cara. Sebagaimana yang tertulis dalam buku Masa Lalu Uang dan Masa Depan Dunia, Barat menggunakan jeratan hutang untuk mencengkeram sebuah Negara. Kekuatan fisik alias perang hanya digunakan sebagai opsi akhir jika seluruh skema penjajahan tidak mempan mengontrol sebuah Negara. Inilah penjajahan gaya baru yang sudah dirintis sejak abad 19. Sejak Belanda bercokol dengan VOC hingga AS di penghujung abad 21.
Hanya saja, kesulitan rakyat dan umat Islam di negeri untuk melepaskan diri dari penjajahan terbentur dengan banyaknya agen dan komprador yang bekerja untuk kepentingan negara penjajah itu. Karena bahasa, agama dan kulitnya sama. Pembedanya adalah mindset mereka. Mereka yang menjadi agen dan komprador itu adalah mereka yang pemikirannya sama dengan negara penjajah itu. Belum lagi, penyesatan opini dan politik yang mereka lakukan begitu massif, membuat rakyat dan umat di negeri ini sulit melepaskan diri dari jeratan mereka.
Mengakhiri Penjajahan Menuju Kesejahteraan
Mengakhiri kontrak karya dengan Freeport bukan masalah mengakhiri kontrak biasa, tetapi mengakiri kontrak karya dengan perusahaan negara penjajah. Di sinilah masalahnya. Karena itu, sangat susah dilakukan dengan cara biasa. Mereka juga akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan keberadaannya. Karena itu, dibutuhkan dukungan rakyat dan umat. Dukungan ini akan diperoleh, jika ada edukasi dan penyadaran yang dilakukan kepada mereka.
Dengan tegas Nabi saw. menyebutkan, bahwa “Kaum Muslim bersyarikat dalam tiga hal: air, padang dan api.” [Hr. Ahmad]. Karena itu, status tambang ini jelas merupakan milik umum, dan harus dikembalikan ke tangan umat [rakyat]. Artinya seluruh kesepakatan tersebut harus dibatalkan dengan segala resiko yang dihadapi. Sebab, Nabi saw menyatakan, “Bagaimana mungkin suatu kaum membuat syarat, yang tidak ada dalam kitabullah. Tiap syarat yang tidak ada dalam kitabullah, maka batal, meski berisi seratus syarat. Keputusan Allah lebih haq, dan syarat Allah lebih kuat.” [Lihat, al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, hadits no. 29615]. Perusahaan ini juga tidak harus dibubarkan, tetapi cukup dibekukan sementara, dan diubah akadnya. Dengan demikian, statusnya pun berubah, dari milik private menjadi milik publik dan Negara. Dengan dinormalisasikannya kembali perusahaan publik dan negara sesuai hukum Islam, negaralah yang menjadi satu-satunya pemegang hak pengelolanya. (dikutip dari artikel yang ditulis KH.Hafidz Abdurahman, MA, Khadhim Syarafatul Haramain)
Islam menetapkan sumber pendapatan tetap, salah satunya pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya alam termasuk kategori kepemilikan umum, dimana setiap warga Negara boleh untuk memanfaatkannya. Namun disini tentu perlu pengaturan dari Negara, agar tidak liar dalam memanfaatkannya. Pihak swasta boleh ikut dalam mengelola, namun hanya boleh sebagai mitra pengelola bukan utama. Hasil dari seluruh pengelolaan sumber daya alam tersebut masuk dalam kas Negara, yang akan digunakan untuk membiayai seluruh pembiayaan yang menjadi kebutuhan rakyat. Pun demikian dengan kebutuhan yang harus dibiayai. Pertama, tentu saja kebutuhan primer seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Kedua, bencana alam seperti banjir, gempa dan paceklik. Ketiga, gaji pegawai dan tentara. Maka pembiayaan seperti pesta atau seremonial yang unfaedah tidak boleh masuk dalam pos pembiayaan Negara.
Jadi divestasi Saham Freport 51% tidak lagi menjadi sebuah ilusi, bahkan seharusnya 100% dimiliki. Sehingga kesejahteraan pun akan terwujud tanpa melalui hutang berjangka. Apakah mungkin? Sangat mungkin dan bukan sesuatu yang mustahil, meski perlu jalan berliku untuk mencapainya. Namun Tentu saja jika mau beralih pada system Islam. Paradigma Negara sebagai penanggungjawab rakyat mesti digelorakan. Bukan Negara sebagai regulator semata, sedang rakyat dibiarkan bertarung dengan perusahaan multinasional milik asing. Wallahu’alam bi showab.