Oleh : Adilah Noor (Mahasiswa Hukum Islam dan Pemerhati Sosial)
Hidup di era neoliberal rasanya sulit sekali untuk bernafas lega. Bagaimana tidak, biaya kebutuhan hidup yang sudah menjadi beban setiap hari ditimpa lagi dengan berbagai tarikan pajak dari Pemerintah. Semua pengeluaran itu cukup membuat para "emak-emak" pusing tujuh keliling karena umumnya mereka adalah pengatur keuangan keluarga. Tapi, Bapak bisa jadi juga lebih pusing karena harus memutar otak bagaimana caranya untuk mendapatkan uang. Maka tidak heran, jika saat ini segala macam cara dihalalkan untuk memperoleh pundi-pundi.
Berdasarkan data APBN 2018 lalu yang telah dicatat oleh KemenKeu (Kementrian Keuangan) Indonesia, besarnya penghasilan yang didapat oleh negara kebanyakan berasal dari perpajakan. Total pendapatan sebesar Rp 1.894,7 triliun dan sangat amat fantastis karena dana pajak adalah penyumbang terbesar senilai Rp 1.618,1 triliun. Bisa kita bayangkan, berapa banyak jenis perpajakan yang dibebankan kepada rakyat oleh pemerintah. Dari pajak rumah, tanah, kendaraan, usaha, bahkan penghasilan pun dipajaki. Ibarat vampir yang menghisap darah manusia.
Lebih naasnya lagi, pemerintah benar-benar memajaki dari hulu sampai ke hilir. Dari perusahaan besar atau makro sampai usaha-usaha kecil pun dihisapnya. Termasuk yang sudah diincar juga adalah e-dagang, para selebgram serta youtuber. Alih-alih mereka hanya ingin eksis di dunia maya namun mereka juga akan dikenai pajak karena mereka mendapat penghasilan juga. Jadi, siapapun yang berpenghasilan dia harus membayar pajak. Hal ini ditargetkan akan dilaksanakan pada bulan April 2019 mendatang. Karena penetapan APBN ini di bulan April dan meningkat 20% lebih banyak dari tahun sebelumnya.
Inilah aturan dari sistem ekonomi neoliberal dimana pajak sebagai tulang punggungnya. Rakyat menjadi sasaran empuk perpajakan sehingga banyak sekali yg merasa dirugikan dan didzolimi. Mestinya rakyat yang diayomi oleh negara, namun disistem ini rakyatlah yang dijadikan tulang punggung negaranya. Bahkan ironinya lagi rakyat pula yang menanggung beban hutang dari lebihnya pembelanjaan negara. Bukan malah hidup sejahtera tapi justru merana.
Ekonomi neoliberal sudah membuktikan dirinya tidak becus dalam menciptakan kesejahteraan rakyat. Rakyat membutuhkan sistem yang lebih baik dan lebih jitu dalam hal ini yakni, Sistem ekonomi Islam. Dalam sistem ini, pajak hanya sebagai alternatif tatkala dibutuhkan. Yang utama adalah pengoptimalan kekayaan sumber daya alam yang ada. Serta pengelolaan dan pengaturan yang tepat agar dapat menghasilkan manfaat yang banyak bagi masyarakat.
Islam menilai sumber daya alam adalah kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau swasta. Maka, setiap individu dilarang untuk memilikinya secara pribadi. Kepemilikan umum artinya benda-benda yang saling dibutuhkan oleh masing-masing komunitas. Sehingga kewajiban pemerintah negara yang mengelola dan mengatur sumber daya tersebut agar mendapatkan hasil kekayaan yang manfaatnya akan dikembalikan lagi kepada masyarakat.
Mekanisme distribusi kekayaan juga diatur yang ditetapkan untuk menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Selain itu mungkin adanya kesalahan dalam distribusi sehingga mengakibatkan berputarnya kekayaan hanya diantara orang-orang segelintir saja sedang yang lainnya kekurangan. Seperti halnya menimbun emas dan perak. Oleh karena itu, Islam melarang perputaran kekayaan hanya diantara orang-orang kaya saja namun harus kepada antar semua orang.
Singkatnya, Islam benar-benar mengatur setiap hal yang dibutuhkan rakyat. Sehingga terpenuhi semua hak-hak rakyat tanpa terkecuali. Tanpa lagi melihat untung dan ruginya bagi negara. Karena setiap rakyat berhak memperoleh kehidupan yang baik dan kesejahteraan yang menyelimuti. Inilah yang dinamakan mengurusi urusan rakyat. Bukan mengurusi urusan orang-orang tertentu. Saatnya beralih kepada sistem yang menjamin kepentingan dan kebutuhan rakyat, yaitu sistem Islam.
Allahu a'lam bishshawwab.