Ummu Yazid
(Founder Grup Ibu Cinta Quran)
Kembali duka menyelimuti negeri ini. Kemalangan demi kemalangan beruntun menghampiri. Hingga tak berlebihan kiranya bila tahun 2018 kemarin disebut tahun bencana.
Mulai dari gempa bumi, tsunami, banjir bandang hingga tanah longsor. Belum lagi jatuhnya pesawat hingga tenggelamnya kapal yang mengangkut penumpang maupun barang. Luka hati kita menyaksikan jatuhnya korban dari setiap musibah.
Sampai di penghujung tahun pun kesedihan seolah enggan hengkang dari benak rakyat Indonesia. Bencana tsunami mengentak, menelan korban yang tak sedikit. “Hingga H+7 pada 29/12/2018 tercatat korban tsunami di Selat Sunda adalah 431 orang meninggal dunia, 7.200 orang luka-luka, 15 orang hilang, dan 46.646 orang mengungsi," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangannya, Sabtu (29/12/2018).
Selain itu, 1.527 unit rumah rusak berat, 70 unit rumah rusak sedang, 181 unit rumah rusak ringan, 78 unit penginapan dan warung rusak, 434 perahu dan kapal rusak dan beberapa kerusakan fasilitas publik. (detik.com, 29/12/2018).
Seakan masih kurang, longsor pun menghantam daerah kabupaten Sukabumi. Tepat di malam pergantian tahun. Tak tanggung-tanggung, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan dari 107 kepala keluarga yang terkena longsor, 9 orang diketahui meninggal dunia, 4 orang luka-luka yang dirawat di RS Pelabuhan Ratu, dan 34 korban masih dicari. (kompas.com, Selasa (1/1/2019) pukul 11.45 WIB).
Memetik Hikmah
Musibah apa pun, termasuk tsunami dan longsor, merupakan bagian dari ketetapan Allah SWT yang harus kita imani. Firman Allah,
“Katakanlah, “Tidak akan pernah menimpa kami melainkan apa yang memang telah Allah tetapkan untuk kami. Dialah Pelindung kami.” Karena itu hanya kepada Allahlah kaum Mukmin harus bertawakal (TQS at-Taubah [9]: 51).
Karena itu dalam menghadapi musibah apa pun yang tak terelakkan, setiap Muslim harus selalu bersikap sabar. Sebab Allah SWT memang akan menguji sejauh mana kesabaran para hamba-Nya. Orang-orang yang sabar inilah yang Allah SWT gembirakan. Seperti tersebut dalam kalamullah,
“Gembirakanlah orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang jika ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lilLâhi wa innâ ilayhi râji’ûn.” Mereka itulah yang bakal mendapat keberkahan dan rahmat dari Tuhan mereka. Mereka pula yang bakal mendapat petunjuk.” (TQS al-Baqarah [2] : 155-157).
Kesabaran yang harus dibangun tentu bukan kesabaran yang bersifat pasif, melainkan kesabaran yang aktif. Kesabaran untuk menarik pelajaran guna membangun sikap, tindakan dan aksi ke depan demi membangun kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat. Di dalamnya termasuk untuk bisa melakukan antisipasi bencana secara lebih baik. Dengan itu dampak dan kerugian yang diderita dalam berbagai aspeknya bisa diminimalkan.
Sambut 'Tsunami' Ketaatan
Allah SWT mendatangkan musibah sejatinya untuk mengingatkan dan mengembalikan kesadaran manusia akan azab Allah SWT. Allah SWT berfirman:
“Apakah kalian merasa aman dari (azab) Allah Yang (berkuasa) di langit saat Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kalian. Lalu dengan itu tiba-tiba bumi berguncang? Ataukah kalian merasa aman dari (azab) Allah Yang (berkuasa) di langit saat Dia mengirimkan angin disertai debu dan kerikil lalu kelak kalian akan tahu bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?” (TQS al-Mulk [67]: 16-17).
Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya, Ma’âlim at-Tanzîl, menjelaskan: Ibn Abbas ra. berkata, “A amintum man fî as-samâ`i (Apakah kalian merasa aman dari apa yang ada di langit), yakni dari azab Zat Yang ada di langit saat kalian bermaksiat kepada-Nya. An yakhsifa bikum al-ardha faidzâ hiya tamûr (Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kalian. Lalu dengan itu bumi berguncang.”
Allah SWT lalu menutup ayat berikutnya dengan memberitahukan: “fasata’lamûna kayfa nadzîr[in]”. Imam Ibn Katsir menjelaskan dalam Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm: “Maknanya, bagaimana peringatan-Ku dan kesudahan orang yang menyimpang dan mendustakan peringatan itu.”
Jadi musibah yang menimpa itu pada dasarnya untuk memberikan peringatan kepada manusia agar manusia kembali pada kesadaran akan kemahakuasaan Allah SWT, Pencipta alam semesta. Dengan musibah, manusia juga diharapkan menyadari betapa lemah dirinya dan betapa terbatas kemampuannya. Dengan musibah, manusia juga diharapkan kembali menyadari bahwa sebagai makhluk ciptaan dan hamba dari Al-Khaliq tidak selayaknya bermaksiat kepada-Nya, menyimpang atau menyalahi peringatan (wahyu)-Nya serta mendustakan dan mengabaikan hukum-hukum dan syariah-Nya.
Kesadaran inilah yang cepat atau lambat akan memantik ‘tsunami’ penghambaan dan ketaatan kepada Allah SWT. Kedahsyatan gelombangnya melecut setiap diri untuk makin meningkatkan ibadah kepada Allah SWT dalam arti yang seluas-luasnya. Wujudnya adalah tunduk dan patuh menjalankan dan menerapkan syariah-Nya secara total di muka bumi.
Bak tsunami yang menerjang apa saja di hadapannya, kesadaran untuk taat ini juga sudah selayaknya akan siap menghadapi segala rintangan. Terus menerus terdorong untuk melakukan perbaikan dan meluruskan penyimpangan. Tak henti men-tadabburi Alquran. Tentu bukan sekedar untuk dibaca namun juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari secara kaffah. Sehingga berjalan di jalan yang benar bersumber dari wahyu Allah SWT Sang Maha Pencipta. Cukuplah bagi kita pelajaran berikut,
“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan me¬nimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliah yang mereka ke¬hendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS AlMaidah: 49-50). Wallaahu a’lam.