Oleh: Arin RM, S.Si
(Freelance Author, Pemerhati Sosial Media)
Kemahiran debat seolah menjadi penentu kualitas calon pemimpin. Hal ini tampak pasca berlangsungnya debat capres putaran pertama. Bahwa setelah momen debat berlangsung, perbincangan seputar siapa pilihan yang dijagokan kian hangat di jagat maya. Kedua pendukung saling membanggakan kandidat pilihan mereka, dan ada juga yang saling mengkritisi performa masing-masing pasangan. Kemahiran dalam menguasai pertanyaan pada debat malam itu seakan menjadi penentu bagaimana publik menjatuhkan pilihan.
Namun, penulis justru tertarik pada hal lain, konten diskusinya. Terutama yang berkaitan dengan bahasan terorisme dan radikalisme. Salah satu kandidat menyatakan bahwa jihad bukan terorisme. Sedangkan kandidat lain tidak sepakat istilah terorisme disematkan kepada Islam dan muslim. Pada tataran ini keduanya objektif. Memang demikianlah adanya. Sama sekali tidak ada kaitan antara terorisme dengan ajaran Islam. Lekatnya terorisme pada Islam adalah framing yang sengaja didesain Barat dalam rangka mendeskriditkan ajaran Islam yang mulia.
Proyek perang atas nama terorisme ini terbukti telah berhasil mendikotomikan muslim. Ada yang akhirnya termakan narasi media yang menyuarakan terorisme dengan menyematkan Islam di dalamnya. Ada yang tidak terpengaruh. Dan yang pasti ada yang kemudian menjadi takut atau bahkan benci kepada sesama muslim lantaran melihat ciri-ciri teroris yang disebutkan media ada pada saudara itu. Inilah bahaya yang sesungguhnya. Munculnya kecurigaan sesama, yang berarti retaknya persatuan di tubuh sesama muslim.
Lebih parahnya jika kecurigaan itu berkembang ke narasi radikalisme yang salah. Siapa saja yang berkemauan kuat menjalankan dan menyebarkan ajaran Islam dinilai radikal. Atau mereka berseberangan dengan kemauan atasan karena mengikuti ajaran Islam juga dianggap radikal. Sungguh disayangkan. Narasi sesat perihal terorisme dan radikalisme ini pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir pihak. Mereka menikmati kegaduhan di level akar rumput. Di sisi lain cengkeraman neoimperialisme nan liberal masih eksis dan kokoh tertancap di negeri muslim. Padahal cengkeraman itulah yang sejatinya menjadi pangkal lenyapnya kesejahteraan di tengah rakyat.
Dan berawal dari jengahnya rakyat yang tak kunjung mencicipi kesejahteraan hakiki inilah kemudian rakyat berharap mampu mendapatkan pemimpin yang baik. Pemimpin yang berani mendobrak imperialisme dan menggantinya dengan kemandirian yang menyejahterakan. Akan tetapi pemimpin yang seperti ini haruslah lahir dari sistem yang mendukung, yang menolak model-model imperialisme dan liberalisme. Yakni sistem yang mengelola segala potensi bumi dengan aturan Allah semata. Sistem Islam.
Dan dengan sistem Islam, lahirnya pemimpin dambaan tidaklah serumit seperti saat ini. Pemimpin dalam Islam tak perlu diadukan di panggung ceremonial. Sebab visi misi mereka jelas untuk sebaik-baiknya menerapkan Al-Quran dan Sunnah. Mengatur segala urusan dengan keduanya. Mengikuti Nabi dan shahabat yang telah lebih dahulu menerapkannya. Selama mereka memenuhi kriteria muslim, laki-laki, baligh, merdeka, adil, mampu, dan berakal, cukuplah bekal mereka menjadi pemimpin ummat.
Namun demikian, tak banyak muslim yang bersedia diamanahi menduduki tampuk pimpinan. Sebab mereka paham konsekuensi besar yang harus ditunaikan. Mereka juga paham akan beratnya pertanggungjawaban di akhirat kelak terhadap setiap jengkal kepemimpinannya. Sebab mereka mengetahui dan mengerti jika Rasul pernah bersabda: “Ya Allah, siapa pun yang memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu dia memberatkan/menyusahkan mereka, maka beratkan/susahkan dia; dan barangsiapa memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu dia memperlakukan mereka dengan baik, maka perlakukan pulalah dia dengan baik,” (HR Ahmad dan Muslim). Oleh karenanya dengan Islam maju pada tampuk pimpinan tak mengharuskan kepiawaian debat. Justru ketaqwaan calon lah yang menentukan. Sebab dengan ketaqwaan itu, pemimpin akan menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. [Arin RM]