Oleh Yanti Nurhayati, S.IP. ( Muslimah Peduli Umat)
Suasana perpolitikan di Indonesia semakin memanas karena tinggal beberapa bulan lagi pemilihan presiden akan segera dilaksanakan. Dua pasangan capres-cawapres akan bersaing di pilpres 2019. Mereka adalah pasangan Ir H Joko Widodo dan Prof Dr KH Ma’ruf Amin, serta H Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno. Berbagai taktik sudah mulai dilakukan oleh setiap kubu. Taktik saling menjatuhkan antar lawan itu sudah pasti, berbagai janji-janji untuk mensejahterakan rakyat digulirkan. Dan rakyat dinegeri inipun turut serta meramaikan pilpres seolah-olah kubunya yang didukung akan menepati janji-janjinya. Inilah suasana politik Indonesia saat ini, rakyat sengaja diperalat untuk kepentingan para penguasa. Namun akhirnya tetap rakyat sendiri yang menjadi objek penderitanya, sementara para penguasa yang menikmatinya.
Belum lama ada wacana untuk setiap calon presiden dites untuk membaca Al Qur’an. Ikatan Dai Aceh mengundang keduanya untuk uji baca Alquran. Menurutnya, hal tersebut penting bagi umat Islam untuk tahu kualitas calon presidennya.
Ikatan Dai Aceh mengundang dua kandidat calon Presiden RI untuk uji baca Alquran. Salah satu alasannya karena dua Capres sama sama beragama Islam dan penting bagi umat Islam untuk tahu kualitas calon presidennya.
“Membaca Alquran adalah ibadah harian yang sangat lazim dilakukan oleh jutaan muslimin setiap hari di Indonesia. Saya yakin pak Jokowi dan pak Prabowo tidak ada masalah dengan itu,” ujar Ridlwan.
Justru, tambahnya, kemampuan membaca Alquran menambah trust atau rasa percaya dari masing masing voter atau kelompok pemilih. “Misalnya pak Prabowo kan diusung oleh ijtima ulama, tentu sangat wajar kalau ummat ingin tahu dan ingin mendengar bacaan Alquran pak Prabowo,” katanya. (tribunnews.com, 30/12/2018)
“Memahami Alquran dan kitab kitab suci lain penting sebagai seorang capres. Kemampuan membaca Alquran bukan syarat tapi sebagai advantage saja. Sehingga tes baca tulis tidak perlu dilakukan. Tes, amati cermati pemahamannya terhadap Alquran. Tapi tidak melalui tes khusus karena bisa tampak dalam debat, dalam pidato dan dalam pendapat dan pikirannya selama ini,” ucap Sodik.
Usulan dari Dewan Ikatan DAI Aceh terkait adanya tes baca Al-quran bagi dua pasangan capres dan cawapres tersebut bertujuan untuk mengakhiri polemik keislaman Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga. Selain itu, tes Alquran juga dinilai untuk meminimalkan politik identitas yang sudah terlanjur dilaukan oleh pendukung kedua pasangan calon.(news.okezone.com, 30/12/2018)
Akan tetapi apakah kualitas calon presiden hanya dilihat dari pandainya membaca Al Qur’an?. Didalam Islam sesungguhnya telah ditetapkan seperti apa seharusnya seorang pemimpin.
Dalam sistem negara Islam atau kekhilafahan antara kedaulatan (al-siyâdah) dan kekuasaan (al-sulthân) dibedakan secara tegas. Kedaulatan dalam khilafah Islamiyyah ada di tangan syara’. Sebab, Islam hanya mengakui Allah Swt satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-hákim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbût (sanksi-sanksi). Islam tidak memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt (lihat QS al-Nisa’: 59-65, 105, 115; al-Maidah: 44-50).
Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan kedaulatan syara’ itu. Tentu saja, penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syara’. Kepala negara tersebut harus memenuhi syarat sah (syurûth al-in’iqâd) harus Muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kekhilafahan.
Bahwa kekuasaan ada di tangan umat dipahami dari ketentuan syara’ tentang baiat. Dalam ketentuan syara’, seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan melalui bai’at. Berdasarkan nash-nash hadits, baiat merupakan satu-satunya metode yang ditentukan oleh syara’ dalam pengangkatan khalifah.
Hadits-hadits yang berkenaan dengan bai’at menunjukkan bahwa bai’at itu diberikan oleh kaum Muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum muslimin. Dari Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا
Kami membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi atau pun kami benci, dan benar-benar kami dahululukan (HR Muslim).
Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah ra, ia berkata:
بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
Saya membaiat Rasulullah saw untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan memberikan nasihat kepada seluruh muslim (HR al-Bukhari).
Berdasarkan hadits-hadits tersebut seorang khalifah mendapatkan kekuasaan semata-mata dari umat melalui bai’at. Bahkan Rasulullah saw, meskipun beliau berkedudukan sebagai rasul, tetap saja mengambil baiat dari umat, baik dari laki-laki maupun perempuan. Demikian juga yang dipraktikkan oleh al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka semua menjadi khalifah setelah mendapatkan baiat dari umat.
Ketentuan baiat tersebut menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi khalifah. Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan wakil umat untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara’) dalam kehidupan bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem sekular-demokrasi.
Sebagai pemimpin yang telah dibaiat oleh umat, mereka memiliki kekuasaan yang wajib ditaati. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya ketaatan kepada khalifah. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah mendengarkan Rasulullah saw bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu. Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu (HR Muslim dan Abu Daud).
Juga dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Barang siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah dia bersabar. Sebab, tiada seorang pun keluar (memberontak) dari penguasa sejengkal saja kemudian mati dalam keadaan demikian, maka dia mati seperti mati jahiliyyah (HR al-Bukhari).
Jelaslah bahwa dalam kaidah sistem pemerintahan Islam, kekuasaan ada di tangan syara’.
Jadi kriteria calon pemimpin harus bisa baca Al Qur’an bukanlah hal yang penting karena sesungguhnya ketika pemimpin tersebut beragama Islam maka sudah menjadi kewajibannya utk bisa membaca Al Qur’an dan sebagai pemimpin tentunya bukan membacanya saja tapi yang paling penting adalah ketika seorang pemimpin mau menerapkannya secara kaffah.