Akhir tahun 2018, gegap gempita membayangi Indonesia setelah divestasi saham Freeport dikabarkan berhasil terbeli oleh PT Inalum (Persero) dengan lunas. Hal tersebut disampaikan oleh pihak Inalum kepada Presiden Joko Widodo pada 21 Desember lalu (detikFinance 21/12). Seiring dengan itu, berbagai media pun turut mengelu-elukan keberhasilan ini dengan menampilkan headline mencolok, melambungkan asa rakyat Indonesia bahwa Indonesia cukup memiliki power dalam menegosiasikan kepemilikan saham mayoritas atas PTFI.
Data yang diterima detikFinance (21/12/18), saham Inalum di PTFI sebelumnya hanya sebesar 9,36%. Oleh karenanya, untuk menaikkan kepemilikan menjadi 51,23%, dibutuhkan dana sebesar US$ 3,85 miliar atau setara Rp 54 triliun. Kisaran nilai tersebut merupakan hasil negosiasi antara Inalum, dengan Freeport McMoRan (FCX) dan Rio Tinto.
Masih dari sumber yang sama, disebutkan pula bahwasanya Inalum menerbitkan surat utang global sebanyak US$ 4 miliar untuk pengambilalihan saham PTFI . Di mana, sebanyak US$ 3,85 miliar digunakan untuk membeli saham dan US$ 150 juta untuk refinancing.
Dari sini, sungguh terlalu dini apabila momen ini diklaim sebagai suatu pencapaian besar jika lagi-lagi kata "lunas" yang dimaksud tidak lain adalah hasil dari diterbitkannya surat utang global.
Dan seolah sudah menjadi rahasia umum, hutang selalu dijadikan sebagai opsi terbaik untuk menutupi defisit anggaran negara. Genjotan infrastruktur yang menggila, hingga divestasi Freeport pun pembiayaan nya tak lepas dari hutang.
Padahal dampak dari peningkatan utang ini jelas akan menyebabkan beban yang tidak semestinya pada generasi mendatang. Disamping itu, jeratan utang juga mampu menurunkan pengaruh politis negara dalam percaturan global, yang dengannya asing mampu mendikte suatu negara melalui prasyarat prasyarat yang mereka ajukan.
Tidak hanya dari segi pelunasan divestasi, kasus Freeport ini semakin membuktikan nyatanya kerusakan sistem ekonomi kapitalis neolib. Sebuah sistem yang membuat rakyat tak berdaulat sama sekali atas kekayaan alam miliknya sendiri. Sebuah sistem yang perlahan tapi pasti, semakin mereduksi peran serta tanggungjawab negara.
Maka, sungguh jauh panggang dari api yang akan dirasakan bangsa ini jika masih menumpukan solusi pada hutang dan sistem kapitalis. Permainan sistem ini hanya mampu mengayakan orang orang kaya dan memiskinkan orang miskin. Lihat saja Papua, bumi dimana tambang emas digali, tapi di bumi itu pula plakat kemiskinan tertinggi disematkan oleh BPS. Kapabilitas SDM rendah serta aksesibilitas minim adalah simbol yang masih melekat di tanah Papua.
Keterpurukan yang kian menjadi ini tentu bukan hal yang tidak bisa diperjuangkan. Masih ada peluang untuk memperbaiki dengan merombak secara mendasar sistem hidup yang terlanjur dianut oleh negeri ini. Terkait SDA, maka pengaturan nya harus disesuaikan dengan apa yang dikehendaki oleh Sang Pemilik sejati kekayaan tersebut.
Sumberdaya alam dalam pandangan Islam dinilai sebagai harta milik umum yang wajib dikelola oleh negara dengan sebaik mungkin. Tanpa adanya intervensi dari asing, tanpa swastanisasi, dan tanpa kerjasama yang memungkinkan terjadinya peralihan keuntungan. Kemudian, hasil daripada pengelolaan tersebut harus dikembalikan kepada rakyat agar tercapai dengannya suatu kesejahteraan.
Dari sini jelas, bahwa selesainya divestasi 51% bukan berarti selesai perkara. Kekuatan asing tentu jauh lebih besar daripada sekedar divestasi untuk kembali menekan bangsa ini. Dan jika digemborkan Freeport sudah kembali ke pangkuan pertiwi berkat 51% nya, lalu apa kabar 49% sisanya? Tidakkah terlalu dini jika dikatakan demikian?
Maya /Gresik