Oleh: Sumiati (Praktisi Pendidikan dan Member Akademi Menulis Kreatif )
Sering kita dapati disebuah organisasi, perusahaan, atau apa saja tempat yang mana disana berkumpul banyak orang yang berbeda karakter, cara pandang, prinsip hidup dan lain-lain. Perselisihan, pertengkaran, saling sikut, saling jatuhkan dan lain sebagainya sudah biasa terjadi dan menjadikan suasana tidak nyaman dan jauh dari harmonis.
Tentu saja hal ini sudah lumrah terjadi dikalangan orang-orang yang awam dari agamanya. Terlebih lagi jika mereka mengemban Mabda Kapitalis yang sejatinya mereka dalam hidup berupaya untuk meraih sebanyak mungkin kebahagiaan jasmani berupa harta, tahta dan wanita. Tak jarang mereka melakukan itu semua dengan menghalalkan segala cara walaupun harus sangat tidak berkeprimanusiaan sekalipun.
Dengan ego sudah terlalu banyak fakta menyedihkan sekaligus menambah daftar panjang kemelut ditengah-tengah umat. Yang menyebabkan umat semakin berat menjalani kehidupan. Air mata, kemarahan, kebencian, sakit hati, dendam, keterpurukan dan lain-lain sudah menjadi pemandangan yang biasa terjadi disekitar kita.
Namun, jika ini terjadi disebuah institusi, lembaga yang notabene seluruh penghuninya orang-orang yang paham islam tentu rumit untuk dipahami umat. Karena umat akan bertanya-tanya "mengapa orang-orang yang paham Islam begini? " tetapi inilah realitanya. Contoh: Seorang yang mengerti Agama dalam sebuah lembaga tetapi egonya kuat, karakter pertahanannya kuat ia tidak akan mau posisinya selalu disalahkan, dipandang sebelah mata, atau selalu dicari titik lemahnya. Padahal ia termasuk orang yang cukup hanif jika tidak ada yang ganggu ia akan lurus tunduk patuh terhadap aturan dan patuh terhadap orang yang memimpinnya. Bahkan cenderung terus berupaya memberikan yang terbaik untuk lembaganya, fokus terhadap perbaikan diri dan amanahnya.
Kemudian yang senang mengusik ia adalah orang yang juga egonya super tinggi, merasa paling benar, paling ahli, yang lain semua salah, rasa hormatnya tidak ada, walaupun sikapnya dibungkus dalil, dibungkus keilmuan, tetapi ia selalu memunculkan sikap ia terbaik dan banyak ilmu baru yang juga terbaik menurutnya. Sikap seperti ini akan memunculkan suasana gersang dalam sebuah hubungan. Karena ia terus jika keahliannya sudah terlihat dimiliki orang lain ia akan terus menunjukkan keahlian yang baru agar terus seolah terbaik.
Jika upgrade diri tidak dibarengi ego diri terbaik dari yang lain dan yang lain salah tentu ini baik. Namun yang tidak baiknya itu adalah sikap merendahkan yang lain. Hingga sikap egonya itu dikarenakan sombong yang mungkin tidak ia sadari. Lepas dari kontrol Lillaahnya dan itulah kekurangan manusia biasa yang lemah. Sikap seperti itu membunuh kreatifitas rekannya. Menghambat kemajuan rekannya yang sebagai manusia biasa butuh pengakuan juga yang bukan berarti tidak ikhlas karena yang bisa mengukur ikhlas hanya Allaah SWT saja.
Mungkin kisah Khulafau Rasyidiin bisa menjadi contoh terbaik dalam masalah ego dan perbedaan antara rekan kerja atau rekan dawah. Syaikh Taqiyyuddin An nabhani menjelaskan dalam kitabnya. Pada masa Ustman bin Afan, Ali bin Abi Thalib dan Marwan bin al-Hakam menjadi Mu'awin Ustman bin Afan. Namun Ali bin Abi Thalib agak menjauh karena ketidakridhaannya terhadap beberapa kebijakan Ustman bin Afan. Akan tetapi Marwan bin al-Hakam sangat menonjol perannya dalam membantu Ustman bin Afan dalam berbagai aktivitas pemerintahan. Ini bisa menjadi contoh bagi umat muslim saat ini jika ada perbedaan. Memiliki ego sudah memang fitrahnya, namun ego yang dibimbing wahyu sangatlah indah. Betapa Ali bin Abi Thalib berbeda pendapat dengan Ustman bin Afan, tetapi sedikitpun Ali bin Abi Thalib tidak menunjukkan sikap yang menghambat ataupun membangkang.
Masya Allaah. Itulah ego para ahli surga. Semoga kita bisa mengambil ibrohnya dari hal demikian.
Karakter manusia yang luar biasa inipun sempat membuat para Malaikat bereaksi mempertanyakan kepada Allaah SWT. Mengapa Allaah SWT mau menciptakan makhluk semacam ini.
Allaah SWT berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ ﴿٣٠﴾
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka berkata, "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.""
(Q.S.2:30)
Walaupun Firman-Nya demikian. Kita terus berharap mampu mengendalikan ego agar tidak menjerumuskan diri dan orang lain. Dengan Islam dan iman sebagai penjagaan utama. Dan sebagai solusi dalam permasalahan manusia. Dulu para sahabat memperlihatkan betapa indah akhlaknya dengan bimbingan wahyu dan tauladan Rasulullah saw. Semoga kini tanpa bertemu Rasulullah saw kita mampu mencontoh beliau beriman ber-Islam yang kokoh. Aamiin Yaa Rabbal'aalamiin.
Wallaahu a'lam bishawab.