Ummu Zhafran |
(Pemerhati Masalah Sosial)
Polemik mengenai debat capres masih terus meluncur. Semakin semarak menyusul keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) batal memfasilitasi sosialisasi visi dan misi hingga pemberian kisi-kisi pertanyaan kepada capres-cawapres sebelum debat.
Merujuk pada Undang-Undang Pemilu Tahun 2017, KPU bertugas memfasilitasi pelaksanaan debat pasangan calon presiden sebanyak lima kali. UU tersebut memang tidak mengatur soal penjabaran visi dan misi oleh pasangan capres. Sebab, dalam pasal 274 hanya disebutkan visi, misi, dan program capres menjadi materi yang disampaikan saat kampanye. Itulah sebabnya Ketua Komisi II DPR, Zainudin Amali menilai kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) selama ini masih belum menyimpang dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. (merdeka.com,8/1)
Berakhirkah episode sampai di sini? Nyatanya tidak. Soal kisi-kisi pertanyaan yang diserahkan penyelenggara pemilu, KPU kepada para pasangan calon (paslon) menjadi perdebatan berikutnya. KPU beralasan bahwa keputusan membocorkan soal diambil setelah pembicaraan bersama yang dilakukan dalam rapat pleno pada 28 Desember 2018.
"Kami ambil putusan itu karena kami menerima masukan masing-masing paslon. Pesan penting kami tidak ingin ada paslon yang dipermalukan atau diserang karena pertanyaan yang sangat teknis dan tidak substantif," kata Ketua KPU Arief Budiman usai pertemuan di Kantor KPU. (cnnindonesia.com, 7/1)
Sengkarut masalah kisi-kisi pun terus bergulir hingga tulisan ini dibuat. Menarik apa yang dilontarkan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang menyayangkan keputusan KPU tersebut. Bahwa bocoran soal bakal menghilangkan esensi debat antar kandidat Pilpres 2019.
Debat, kata JK, seharusnya menyediakan ruang untuk kandidat menunjukkan kemampuan pribadi menjawab hal-hal tak terduga. (cnnindonesia.com, Selasa,8/1).
Debat dalam Bingkai Demokrasi
Dari laman wikipedia, debat merupakan kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan. Tradisi debat kental pada negara -negara pengusung demokrasi. Seorang peneliti madya Institute for Social Research and Development, Ismatillah A. Nu’ad dalam tulisannya di harian Jawapos memuat seluk beluk debat di Amerika Serikat. Bahwasanya di negeri Paman Sam tradisi ini sudah dimulai setiap Pemilu Presiden (Pilpres) sejak 1960. (detik.com, 9/1). Kemudian ditularkan ke negara-negara dunia ketiga yang mayoritas muslim namun mengadopsi trias politika. Ditandai antara lain dengan keberadaan lembaga legislatif dan eksekutif. Awalnya debat ditujukan sebagai sarana pertarungan ide dan gagasan para calon presiden mengenai program yang akan dijalankan jika memerintah. Dengan harapan pemilih lebih rasional saat memberikan suaranya. Dengan debat konon pemilih akan berkesempatan untuk benar-benar membedakan antar calon presiden berdasar visi dan misi calon. Bukan sebatas pencitraan, melainkan berdasar ide dan gagasan.
Masalahnya adalah ketika euphoria debat terhenti sebatas sosialisasi visi dan misi namun minim solusi. Risikonya bisa jauh dari realisasi. Bisa terbayang apa jadinya seorang pemimpin bila kata tak sesuai aksi. Lagi-lagi rakyat dibiarkan gigit jari.
Bagaimana dengan bocoran kisi? Sulit membayangkan hal ini terjadi di negeri asalnya. Di Amerika Serikat, misalnya. Negeri yang menjadi destinasi Indonesia kabarnya belajar berdemokrasi. Wajar jika memantik tanda tanya. Apalagi hal ini belum pernah dilakukan di pemilu-pemilu sebelumnya. Beragam komentar lantas datang dari sejumlah pengamat. Salah satunya dari Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo yang berharap pemberian kisi-kisi itu dibatalkan demi menuju politik modern di Indonesia.
"Oleh karena itu, yang harus dilakukan KPU adalah mengembangkan acara debat lebih kreatif dan bermutu, bukan membuat langkah mundur." (bbc.com, 9/1).
Rindu Pemimpin Sejati
Jujur, hiruk pikuk mengenai debat capres pada akhirnya bermuara di satu titik, kerinduan. Rindu akan sosok pemimpin yang tangguh namun lembut penuh cinta pada rakyatnya. Utamanya lagi tentu saja yang bertakwa kepada Allah swt.
Mengapa harus takwa? Ya, sebab ketundukan pemimpin pada Sang Pencipta akan menjelma menjadi rasa takut karena Allah. Visi dan misinya jelas yaitu sebagai pengemban amanah untuk menjalankan syariat-Nya hingga terwujud rahmatan lil 'alamin. Dengan sendirinya ia kan selalu waspada jangan sampai melanggar amanah kepemimpinan yang dibebankan di pundaknya. Berpikir seribu kali untuk zalim apalagi hingga menyusahkan rakyatnya. Membohongi rakyat jelas tak kan ada dalam kamusnya. Sebagai gantinya rakyat sudah pasti juga akan mencintainya.
Sampai di sini tak bisa dipungkiri agama positif memainkan peranan yang sangat penting. Jika terdapat sementara orang yang mengatakan bahwa memilih seseorang menjadi pemimpin, misalnya presiden, hanya merupakan urusan dunia, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan agama. Maka hal itu jauh hari telah dibantah keras oleh Guru Besar Agama Islam IPB Bogor Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS.
“Memilih seorang pemimpin adalah bagian dari urusan dunia sekaligus akhirat. Memilih pemimpin bagian dari urusan agama yang sangat penting. Islam tidak mengenal dikotomi atau sekularisasi yang memisahkan antara dunia dan akhirat, termasuk dalam memilih pemimpin,” ujar Prof Didin Hafidhuddin (republika.co.id, 1/4).
Pada akhirnya rakyat sungguh berharap drama segera berakhir. Sosok pemimpin yang dirindukan segera lahir. Dalam naungan Islam yang terakomodir. Dengannya kebahagiaan kan terwujud selamanya di dunia maupun di akhirat, happily ever after. Wallaahu a’lam.