Oleh: Rahmi (Penulis dan Pemerhati Media)
Apa jadinya jika seseorang tidak bebas menjalankan keyakinan dan dihalangi dari berbagai macam ritus-ritus ibadah?
Inilah yang terjadi pada keluarga muslim etnis Uighur, Kazakh dan minoritas muslim lainnya yang tinggal di wilayah Xinjiang, barat laut China yang berbatasan dengan beberapa negara Asia Tengah. Di wilayah ini, total penduduk muslim mencapai sekitar 10 juta dengan etnis Uighur sebagai penyumbang terbesar populasi. Sementara di wilayah China seperti Shanghai, Beijing dan Guangzhou, jumlah pendatang Uighur hampir tenggelam oleh etnis lokal Han yang menyusun sekitar 90% populasi. [theguardian.com]
Pertanyaannya, Kenapa harus Uighur? Sebab faktanya, etnis Muslim di China tidak hanya Uighur. Ada etnis Hui yang notabene sama-sama Muslim. Akan tetapi Uighur tampil dengan idealismenya. Sehari-hari, mereka menggunakan bahasa Turki yang ditulis dengan aksara Arab. Pemandangan ini kontras dengan China yang berbahasa Mandarin.
Berbekal latar budaya yang kuat, membuat Uighur enggan mengasimilasikan diri dengan etnis Han. Akibatnya, Mereka dianggap sebagai etnis 'menyimpang' karena menunjukkan sikap non kooperatif terhadap pemerintah China. Mereka dituding sebagai pemberontak dan ekstrimis, sehingga negara wajib turun tangan.
Alasan lainnya yang menyebabkan Uighur diberi perlakuan berbeda adalah alasan teritorialitas. Uighur, yang baru-baru mengalami dua periode kemerdekaan yang terpisah, umumnya percaya Xinjiang diduduki secara tidak adil oleh orang Cina. Banyak yang percaya bahwa provinsi Xinjiang -yang mereka sebut Turkistan Timur dan bukan nama Mandarinnya- haruslah negara berdaulat yang diperintah oleh etnis Uighur. [thediplomat.com]
Jauh sejak era Bani Umayah, sejarah Turkistan Timur telah dimulai. Di bawah kepemimpinan Qutaibah bin Muslim al-Bahiliy, wilayah ini mampu ditaklukkan sehingga pada perkembangannya menjadi negeri Islam. Namun pada 1949, situasi berubah total karena Turkistan Timur -alias Xinjiang- resmi jatuh ke tangan komunis China. Apalagi sejak kejatuha Uni Soviet pada 1990-an, China makin meningkatkan intensitas perlawanannya terhadap etnis Uighur.
Menurut laporan dari perwakilan lembaga resmi Amerika Serikat, Scott Busby ia mengatakan bahwa sedikitnya 800,000 orang telah ditempatkan dalam kamp re-edukasi semenjak April 2017. Mereka yang ditempatkan di sana, dipaksa untuk meyakini doktrin komunis demi melanjutkan warisan pemikiran Xi Jinping.
Para tahanan di dalam kamp mengalami penderitaan yang luarbiasa. Mereka dipaksa menanggalkan identitas keislamannya. Jutaan Muslim Uighur yang berada dalam kamp re-edukasi dipaksa mengatakan bahwa Islam adalah agama takhayul. Para tahanan disiksa dengan cara-cara sadis dan keji. Mereka bahkan dipaksa untuk memakan daging babi dan minum alkohol. Wanita-wanita Uighur dipaksa menikah dengan China Han untuk memuluskan proyek Chinaisasi dan agar Uighur kehilangan kebudayaan.
Bagaimanapun juga tindakan pemerintah China terhadap Muslim Uighur tak dapat dibenarkan. Negara yang seharusnya berperan sebagai penjamin kebebasan, justru berubah menjadi tangan besi. Berdasarkan kesaksian para jurnalis di luar Xinjiang, dan mereka yang berhasil keluar dari situasi buruk ini, China dinilai telah melakukan pemaksaan kehendak dan menciptakan teror bagi Muslim Uighur.
Pemerintah China tidak boleh merasa jumawa dan berbesar hati atas upaya membungkam warga negaranya agar tidak 'berteriak' meminta pertolongan ke negara luar. Seorang yang jujur menilai suatu peristiwa, pasti tidak akan tinggal diam dan membiarkan penganiayaan ini terus berlanjut. Di hadapan para aktivis HAM dan pegiat kemanusiaan, sesungguhnya wibawa dan harga diri pemerintah China mulai luntur.
Meskipun berbagai upaya makar terhadap Muslim Uighur terus dilancarkan, ini tidak akan mengurangi sedikitpun keyakinan mereka terhadap Islam. Fisik mereka boleh saja disiksa, tetapi siapa yang mampu menebak apa yang bersemayam dan berkobar di dalam dada?
Sungguh kedzaliman demi kedzaliman yang ditimpakan terhadap Muslim di seluruh dunia, semakin menguatkan bahwa mereka sejatinya butuh pelindung. Kaum muslimin butuh negara sebagai penjamin keamanan atas diri mereka, sekaligus memastikan bahwa hak dasar mereka yakni kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinan terpenuhi.
Negara yang dimaksud, tentu saja adalah negara yang humanis dan memanusiakan manusia. Inilah negara Islam, semisal yang dipraktekkan orang paling berpengaruh di dunia yakni Rasulullah SAW. Bukan negara yang menghalalkan kekerasan dan konflik. Bukan pula negara yang menjunjung tinggi nilai kebebasan namun menemui kepincangan dalam praktek. Juga, bukan negara yang kering bahkan tak kenal nilai-nilai ketuhanan.
Wallahu a'lam