Oleh Yury Purnama Indah (Guru)
Jakarta, Jum’at (28/12) lalu mantan komisaris PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Mumammad Said Didu diberhentikan dari jabatannya sebagai komisaris pada perusahaan BUMN. Lewat akun Twitter pribadinya @saididu, beliau menyinggung soal kinerja dan sikap penjilat sebagai pejabat BUMN. “Alasanya sangat jelas – bukan karena kinerja – tapi karena tidak sejalan dengan menteri. Artinya jika mau jadi pejabat BUMN sekarang harus siap jadi penjilat? Saya tidak punya bakat jadi penjilat,”
Cuitannya tentang pembelian saham PT Freeport sebesar 51,23 persen menjadi buah bibir dan alasan ia diberhentikan. Padahal bila kita simak apa yang disampaikan belaiu adalah sebuah kepedulian terhadap aset bangsa. Selama ini PT Freeport dikuasai asing tetapi setelah sumber daya berupa tambang emas tersebut tinggal sisa-sisa kekayaannya barulah pemerintah membeli sahamnya.
Padahal dengan kepemilikan 51% saham PT Freeport maka tanggung jawab perbaikan pengelolaan limbah menjadi tanggung jawab si pemilik saham. Maka menurut Said Didu hal tersebut membuat Freeport McMoran (pemegang saham sebelumnya) bisa menghindar dari sanksi lingkungan terkait dengan pengelolaan limbah. Walaupun kini pihak BUMN yang memegang saham terbesar, namun ternyata pihak pengendali masih berada dalam kendali Freeport McMoran. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi pak Said Didu yang tak lupa pada cuitan Twitternya.
Intinya dalam sistem sekuler sekarang ini, BUMN dan pihak pemerintah lainnya seolah mengharamkan rakyat untuk mengkritisi kebijakan yang mereka buat. Padahal kebijakan yang mereka buat dan mereka laksanakan belum tentu menguntungkan rakyat, yang ada sudah jelas malah merugikan rakyat. Hal ini menjadi bukti bahwa rakyat harus bungkam dan manut-manut saja pada kebijakan pemerintah yang sudah jelas merugikan negara. Padahal bukankah kebebasan berpendapat itu diperbolehkan? Tapi kenyataanya tak sejalan dengan peraturan.
Sikap yang dilakukan pak Said Didu merupakan bentuk amar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa ataupun kebijakan penguasa yang dinilai dzalim dan merugikan rakyat. Sikap amar maruf nahi mungkar ini haruslah diemban oleh setiap rakyat. Karena dengan begitu rakyat dapat berperan mengawasi kebijakan pemerintah dan apabila terdapat kebijakan yang merugikan rakyat dan memeras kekayaan negara tetapi bukan untuk menyejahterakan rakyat maka rakyat haruslah bertindak mengingatkan penguasa/pemerintah agar kembali ke jalan yang benar dan membuat kebijakan yang benar sesuai dengan amanah yang mereka emban.
Mengkritik penguasa di muka umum hukumnya boleh dan tak termasuk ghibah yang dilarang dalam Islam. ”Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq) kepada penguasa (sulthan) yang zalim.” (HR Abu Dawud 4346, Tirmidzi no 2265, dan Ibnu Majah no 4011). Dalil ini mutlak, yakni tanpa menyebut batasan tertentu mengenai cara mengkritik penguasa, apakah secara terbuka atau tertutup. Maka boleh hukumnya mengkritik penguasa secara terbuka, berdasarkan kemutlakan dalil tersebut, sesuai kaidah ushuliyah : al ithlaq yajri ‘ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ‘ala al taqyiid (dalil mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang menunjukkan batasan/syarat). (M. Abdullah Al Mas’ari, Muhasabah Al Hukkam, hlm. 60). Maka seharusnya sikap pak Said Didu ini berupakan bentuk jihad kepada kebijakan penguasa yang dzalim.
Kebijakan pemerintah yang sesuai dan tidak akan merugikan rakyat hanya akan bisa terlaksana jika pemerintah tidak menerapkan sistem demokrasi kapitalis sekuler yang hanya mementingan pihak pemodal. Kebijakan pemerintah yang mengayomi, memetingkan kesejahteraan rakyat, dan keadilan bagi rakyat hanya bisa lahir dengan melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Dalam sistem Islam hanya orang-orang pilihan yang amanah, mampu, dan bertanggung jawablah yang akan dipilih menjadi pemimpin. Sehingga insya Allah kesejahteraan akan didapat oleh negeri tersebut dengan menerapkan syariat-syariat Islam secara kaffah. Wallahu’alam