Oleh : Eri*
Ibarat peribahasa ‘bagai membeli kucing dalam karung’ yang artinya kita membeli sesuatu tanpa melihat atau mengetahui terlebih dahulu. Mungkin ini yang menjadi alasan kita untuk menyaksikan acara Debat Capres-Cawapres yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tujuan dari debat tersebut untuk masyarakat mengetahui visi-misi pasangan dalam rencananya memimpin Indonesia selama 5 tahun. Serta menjadi referensi bagi pemilih muda dalam menentukan pilihannya. Sehingga masyarakat tidak asal pilih.
Debat sejatinya untuk mengemukakan visi-misi dan program dari calon pasangan, tetapi masyarakat justru disuguhi debat yang mengedepankan ego dan perasaan masing-masing kandidat. Misalnya, pada isu hukum. Belum ada upaya konkret dari kedua calon terkait permasalahan hukum yang selama ini terjadi. Namun, selama acara berlangsung beberapa kali muncul situasi panas dan saling serang. Misalnya di tema korupsi, saat Prabowo tampak gelagapan menjawab pertanyaan Jokowi tentang partai yang dipimpinnya, Gerindra yang dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), mengajukan enam mantan napi koruptor sebagai calon legislatif (caleg).
Selain itu, pada sesi awal dalam bahasan soal hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Prabowo mempertanyakan ketidak-samaan di mata hukum. Ia menyebut kepala daerah yang mendukung Jokowi 'baik-baik saja', namun yang mendukungnya, dipermasalahkan. Malah, katanya, ada pendukungnya di Jawa Timur yang kemudian ditangkap. (bbc.com 18/01/2019)
Harusnya masyarakat disajikan bagaimana upaya-upaya pencegahan agar tindakan pelanggaran hukum dan kriminalisasi diselesaikan secara tuntas serta memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat bukan hanya golongannya. Selain itu, masih banyak permasalahan yang butuh perhatian serius seperti banyak ulama yang dikriminalisasi, hukuman yang lemah bagi penista agama, pembubaran ormas secara sepihak. Sedangkan permasalahan ekonomi seperti harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik yang terus naik, biaya kesehatan yang tidak lagi gratis dan lainnya.
Masyarakat terutama umat Islam harus cerdas dalam memilih pemimpin, untuk masa depan negaranya. Sangatlah penting bagi masyarakat mengetahui syarat dan karakter calon pemimpin yang sesuai dengan hukum syara’. Menjadikan Islam sebagai standar dalam memilih pemimpin yang mewujudkan kemaslahatan umat. Tak hanya kemaslahatan dunia, seorang pemimpin juga memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur serta mengawasi tegaknya syari’at Allah.
Sedangkan syarat seorang pemimpin dalam Islam sangatlah mudah yaitu menjadikan Islam secara kaffah sebagai aturan hidup dan menerapkan hukum syariat di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, ia juga melengkapi dirinya dengan syarat in’iqad seperti muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, mampu serta ia juga haruslah seorang mujtahid untuk menggali hukum-hukum dan menjadi rujukan umat untuk menyelesaikan permasalahan berdasarkan Alquran maupun as-Sunnah.
Tidak kalah penting pemimpin juga seorang ahli militer, karena pemimpin bak perisai, sebagaimana hadits “Sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah perisai, rakyat akan berperang di belakangnya serta berlindung dengannya. Apabila ia memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla serta bertindak adil, maka ia akan mendapat pahala. Tetapi jika ia memerintahkan dengan selain itu, maka ia akan mendapat akibat buruk hasil perbuatannya.” [Hadis Riwayat Muslim, 9/376, no. 3428]
Saatnya masyarakat sadar, bahwa sistem demokrasi yang kufur tidak akan menghasilkan seorang pemimpin sejati yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dan tidak dapat melindungi kaum muslim di seluruh dunia dari kezaliman barat. Mengharapkan pemimpin yang lahir dari sistem rusak dalam suatu masyarakat merupakan kemustahilan.
Wallahu a’lam bi shawaab.
*Muslimah Pemerhati Masyarakat dari Kabupaten Tangerang
Ilustrasi kazedolemite.com