Oleh: Risma Choerunnisa, S. Pd. (Pengajar di MTs Manba’ul Huda Bandung)
Belum lama ini kita disuguhi tayangan debat paslon capres dan cawapres di beberapa saluran televisi. Debat yang mengangkat tema hukum, HAM, korupsi dan terorisme ini menuai berbagai komentar dari masyarakat yang menyaksikannya. Salah satunya adalah tanggapan mengenai kisi-kisi debat yang diberikan oleh KPU yang dianggap menjadi salah satu penyebab jalannya debat pertama menjadi tak seru. Hal ini membuat KPU mengadakan rapat pleno untuk mengubah sedikit format dan mekanisme untuk debat kedua nanti seperti yang diungkapkan oleh Komisioner KPU, Wahyu Setiawan pada Minggu 20 januari 2019 lalu (Liputan6.com, 20/01/2019).
Selang satu bulan, tepatnya 17 Februari mendatang, KPU akan menyelenggarakan kembali debat kedua. Kali ini debat hanya untuk kedua capres saja, tanpa didampingi cawapresnya. Tema yang akan diperdebatkan kedua capres ini adalah energi, pangan, sumber daya alam, lingkungan hidup, dan infrastruktur.
Setelah kedua capres, satu bulan kemudian, 17 Maret 2019, giliran cawapres yang beradu argumen. Debat ketiga ini KPU menjadikan pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan budaya sebagai temanya. Setelah pelaksanaan debat ketiga, beberapa waktu kemudian, 30 Maret 2019 debat keempat pun direncanakan akan digelar. Dalam debat keempat ini kembali hanya para capres yang akan bertarung dengan tema ideologi, pemerintahan, pertahanan, keamanan, dan hubungan internasional. Awal april rencananya debat kelima akan digelar. Debat terakhir ini akan kembali menghadirkan kedua paslon capres dan cawapres di arena debat.
Berdasarkan fakta rencana penyelenggaraan debat tersebut, sudah tampak jelas bahwa dalam sistem demokrasi memilih pemimpin seperti ajang pemilihan artis idol dan hanya sekadar seremonial. Paslon capres dan cawapres difasilitasi untuk kampanye agar dapat menarik minat masyarakat untuk memberikan hak suaranya saat pemilihan nanti. Mereka di setting sedemikian rupa oleh tim pemenangannya. Sehingga tak jarang ketika mereka tampil banyak cara yang dilakukan, seperti mengumbar sejuta janji manis untuk kesejahteraan rakyat. Padahal, nyatanya kepemimpinan ini hanya untuk melanjutkan kekuasaan sistem sekuler.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, mekanisme pemilihan pemimpin sangat simple namun esensial. Pemimpin dipilih berdasarkan kesanggupannya menerapkan syariat kaffah dan kapabilitasnya dalam mengurus urusan rakyat. Bukan hanya berdasarkan janji-janji manis yang diumbar dan ketika sudah terpillih janji-janji itu seakan terlupakan begitu saja. Dalam sistem demokrasi, kepemimpinan bernilai duniawiyah semata. Sehingga yang terpilih tak merasa berdosa jika tidak mengurusi rakyatnya dengan baik, karena dipikirannya hanya ada bagaimana caranya mendapatkan keuntungan dan kekayaan bagi dirinya sendiri dan bagi “tuannya” saja. Bahkan tak jarang, banyak yang hanya sekadar memikirkan bangaimana agar “balik modal” dan seolah tak takut akan hari di mana semua perbuatan akan dipertanggunngjawabkan dihadapan Illahi Robbi. Tapi dalam Islam, kepemimpinan berdimensi dunia akirat. Tak ada yang berebut ingin menjadi pemimpin, karena tahu bagaimana beratnya pertanggungjawabannya kelak.
Oleh karena itu, yang kita butuhkan bukan hanya sekadar mengganti pemimpin, tetapi mengganti sistemnya. Sudah saatnya mengganti sistem demokrasi dengan sistem yang memberlakukan hukum-hukum Allah SWT secara kaffah sehingga mendatangkan keberkahan dan kemakmuran. Kepemimpinan seperti itu hanya ada dalam sistem Khilafah Islamiyyah yang menerapka islam secara kaffah, bukan dalam sistem demokrasi yang hanya menjadikan kepemimpinan untuk melanjutkan kekuasaan sistem sekuler saja sehingga meraka tidak akan pernah bisa memberlakukan syariah Islam.
Wallahu'alam bishawab