Debat Capres Tak Menentukan Kualitas Pemimpin



Oleh: Nanik Farida Priatmaja 

(Owner Bimbel Mustanir – Tinggal Di Gresik)


Debat "Calon Presiden" (Capres) RI yang pertama kali dilakukan pada Selasa, 27 April 1999, di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Salemba, Jakarta. (detikNews,02042017).


Debat Capres diselenggarakan oleh mahasiswa UI dalam wadah mahasiswa "Forum Salemba", pada saat itu diikuti oleh beberapa tokoh seperti Dr Amien Rais (Ketua Umum PAN), KH Didin Hafidhuddin (Partai Keadilan), Dr Sri Bintang Pamungkas (Ketua Umum PUDI) dan Dr Yusril Ihza Mahendra (Ketua Umum PBB), secara legal sebenarnya belum bisa dikatakan sebagai calon presiden RI. 


Acara debat ini rupanya telah mendorong proses demokratis di negeri ini yang sengaja dibuat sebagai rintisan membuka jalan baru bagi berkembangnya budaya politik baru di Indonesia yang transparan dan akuntabel.


Dalam sistem sistem hidup buatan manusia, pemilihan jabatan politis seperti bupati, gubernur, dan bahkan presiden harus terbuka karena jabatan ini sejatinya adalah amanah kekuasaan yang dititipkan rakyat kepada mereka. Rakyat adalah pemegang kekuasaan sebenarnya, dan para pejabat itu sekedar "pelayan" yang mendapat mandat rakyat untuk menjalankan tugas dalam merealisasikan cita-cita proklamasi. Para pejabat pemerintahan tak lebih sekedar "pesuruh rakyat," bukan "raja." Karena itu, dalam memilih mereka, rakyat secara luas sebagai pemegang mandat kekuasaan asli, harus terlibat langsung. Para kandidat yang akan menempati posisi penting seperti Presiden, Gubernur, Bupati harus diuji. Rakyat harus diberi ruang untuk bertanya dan mendengar langsung apa yang ada dalam pikiran dan hati mereka.


Debat capres perlu dilakukan tidak saja ditujukan agar rakyat tidak seperti "membeli kucing dalam karung," tetapi juga untuk mendorong tumbuhnya pemilih rasional. Pada saat yang sama, debat terbuka juga dapat berfungsi sebagai bagian "desakralisasi" figur calon presiden. Rakyat harus menyadari bahwa pejabat publik yang dipilihnya memiliki kelebihan dan kekurangan, tak ubahnya seperti manusia biasa lainnya.


Seiring berjalannya waktu terselenggaranya debat capres nampaknya tak memberikan dampak yang positif bagi kualitas kepemimpinan presiden ketika berkuasa. Debat capres hanyalah memuluskan langkah sistem hidup buatan manusia semata, yang tampak memberikan ruang kebebasan bersuara bagi rakyatnya. Fakta berkata, itu hanyalah teoritis semata. Ketika sang penguasa menikmati kursi kekuasaan, visi misi hanyalah sekedar basa-basi dalam mendongkrak suara. Rakyat tetap tak mampu menjadi raja, suaranya tak selamanya didengar sang penguasa pilihannya. Misalnya disaat harga BBM naik, rakyat turun ke jalan namun seolah sang penguasa tak punya telinga. Saat rakyat tak sepakat dengan kebijakan yang tidak pro rakyat, penguasa malah berpelukan dengan para kapital.


Pemimpin suatu negara haruslah tak sekedar memiliki visi misi yang jelas semata namun prakteknya nol besar alias visi misi sebagai jargon semata. Visi misi seolah hanyalah iklan menjelang kampanye semata dan lenyap ketika si penguasa bersahaja. 

Pemimpin dalam islam haruslah punya ketaqwaan yang tinggi. Memiliki rasa takut akan pertanggungjawaban kelak di akhirat. Selain itu pemimpin haruslah memenuhi persyaratan yang layak, misalnya laki-laki, muslim, baligh, berakal, mempunyai kemampuan dalam memimpin, dan sebagainya. Serta memiliki visi misi yang jelas-jelas bisa terealisasi di saat menjalankan amanah sebagai pemimpin.


Sebagus apapun visi misi seorang pemimpin tak akan pernah mampu terealisasi ketika masih menggantungkan pada sistem sistem hidup buatan manusia yang berdasar kapitalis. Dalam sistem ini pemimpin bisa dikendalikan oleh para kapital. Sehingga sudah menjadi kewajaran ketika visi misi tak pernah sejalan dengan kebijakan yang telah dibuat penguasa.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak