Oleh: Chezo
Belakangan ini kita sering mendengar kata 'Literasi'. Walau kata ini kerap menghiasi media, baik cetak maupun elektronik, namun banyak juga orang yang masih awam dengan kata 'literasi' ini.
Literasi sebenarnya dapat dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis. Lantas, apakah literasi hanya sekedar kegiatan yang berkaitan baca dan tulis semata? Pada mulanya memang demikian. Tetapi seiring perkembangan kebutuhan dan kepandaian manusia, maka cakupannya pun melebar, dan kini literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat.
Penguasaan literasi sebenarnya merupakan indikator penting dalam kemajuan peradaban. Namun seperti yang sudah kita ketahui bersama, sesungguhnya minat baca masyarakat Indonesia, termasuk siswa sangat rendah. Mereka lebih memilih bermain daripada membaca. Mereka menganggap bahwa membaca itu biasa-biasa saja, tidak ada daya tarik di dalamnya. Adanya mitos bahwa remaja atau anak muda yang suka membaca terkesan "lugu, tidak gaul, dan sebagainya" turut memperkeruh keadaan.
Rata-rata orang Indonesia kini hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. (nasional.kompas.com 08/01/2019)
Banyaknya tempat-tempat hiburan, permainan (game), dan tayangan TV akhirnya mampu mengalihkan perhatian anak-anak maupun orang dewasa dari buku dan
surfing di internet. Walaupun yang terakhir ini masih dapat dimasukkan sebagai sarana membaca, hanya saja apa yang dapat dilihat di internet bukan hanya tulisan tetapi hal-hal visual lainnya yang kadangkala kurang tepat bagi konsumsi anak-anak.
Padahal saat ini kita berada di era millennial yang sangat erat kaitannya dengan kalangan digital native. Maka akan sangat disayangkan jika teknologi yang ada dimanfaatkan hanya untuk membaca dan menulis sesuatu yang kurang positif, di mana semua orang dapat dengan mudahnya mengakses tulisan kita.
Budaya membaca bagi kalangan digital native pun sudah mengalami pergeseran, membaca apa saja yang melintas di linimasa media sosial menjadi favorit. Padahal apa yang kita lihat, baca dan dengar merupakan bagian dari pembentukan karakter.
Literasi Di Tengah Kaum Muslim
Islam sebenarnya merupakan agama yang mendorong untuk membudayakan budaya literasi di kalangan umatnya. Hal ini tak lepas dari sejarah turunnya kitab suci Alquran itu sendiri dimana wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam adalah ayat tentang ilmu pengetahuan, yaitu “Iqra” yang bermakna perintah untuk membaca. Sehingga, pantaslah peradaban Islam bertumpu pada perkembangan dunia pustaka.
Membaca sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim, karena membaca merupakan pintu gerbang bagi masuknya berbagai ilmu pengetahuan. Untuk membuka wawasan pengetahuan tersebut, perlulah kiranya menggunakan perantara ilmu melalui buku-buku pengetahuan ataupun belajar dengan guru secara langsung. Sebagaimana perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah:
ﺗَﻌَﻠَّﻢْ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀُ ﻳُﻮْﻟَﺪُ ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ ُ
"Belajarlah karena tidak ada seorangpun yang dilahirkan dalam keadaan berilmu."
Sejatinya, tradisi literasi di kalangan kaum Muslimin lah yang mengantarkan umat Islam mencapai masa puncak kejayaannya. Sebagaimana perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah:
ﻭَﺇِﻥَّ ﻛَﺒِﻴْﺮَ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ ﻻَ ﻋِﻠْﻢَ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺻَﻐِﻴْﺮٌ ﺇِﺫَﺍ ﺍﻟْﺘَﻔَّﺖْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟْﺠَﺤَﺎﻓِﻞُ
"Sesungguhnya suatu kaum yang besar tetapi tidak memiliki ilmu maka sebenarnya kaum itu adalah kecil apabila terluput darinya keagungan (ilmu)."
Pada masa Kekhilafahan Abbasiyah, terdapat perpustakaan utama yaitu Baitul Hikmah yang memiliki ratusan ribu koleksi buku. Ketika Baitul Hikmah menjadi pusat intelektual dunia, setiap karya tulis ditimbang kemudian dihargai dengan emas sesuai dengan beratnya. Pada masa itu, koleksi buku dari berbagai bahasa dan bidang keilmuan sangat banyak beredar. Banyak ilmuwan-ilmuwan Muslim yang bermunculan dan produktif dalam menghasilkan karya yang menjadi sumbangsih dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Semangat literasi dalam peradaban Islam juga tersebar hingga Afrika Barat. Kota Timbuktu, Mali menjadi pusat pengetahuan dan literasi di barat Afrika. Buku-buku dari berbagai bidang ilmu banyak terdapat di sana. Hal yang unik di sana adalah para pedagang terkaya justru adalah pedagang buku. Hal ini karena masyarakatnya memiliki minat baca yang sangat tinggi dan haus akan ilmu pengetahuan.
Peradaban Islam pada masa itu tak lepas dari eksistensi perpustakaan. Perpustakaan pada masa itu digolongkan menjadi perpustakaan akademik, pribadi, sekolah/madrasah, masjid dan universitas. Perpustakaan-perpustakaan pada masa itu menjadi penggerak peradaban Islam dengan adanya kegiatan literasi di sana. Jumlah koleksi yang mencapai ribuan dan terus bertambah membuat semakin apik perkembangan perpustakaan pada masa itu. Seorang Menteri pada masa kekuasaan Shalahuddin Al-Ayubi, Al Fadilah bahkan menyumbangkan 200.000 koleksi buku untuk penyelenggaraan perpustakaan madrasah.
Kemajuan literasi dalam peradaban Islam juga tak lepas dari peran pemimpinnya yang juga senang dengan ilmu pengetahuan. Beberapa figur pemimpin yang senang akan perkembangan ilmu pengetahuan seperti Harun Al Rasyid yang mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad dan Sultan Al Hakam II yang mendirikan perpustakaan Cordova di Andalusia. Tentu dengan adanya sosok pemimpin seperti mereka, rakyat akan termotivasi untuk turut mencintai ilmu pengetahuan.
Namun pada akhir masa kejayaan Islam, kita menyadari kenyataan yang pahit dimana perkembangan peradaban Islam mengalami stagnansi yang luar biasa ketika para pemimpinnya meninggalkan bahasa arab. Padahal bahasa arab adalah bahasa yang menjadi kunci ijtihad. Rendahnya pemahaman Islam akibat ditinggalkannya bahasa arab dapat terlihat ketika Al-Qaffal Al-Marwazi Syaikh Al-Khurasiniyin menutup pintu ijtihad, sehingga para mujtahid tak lagi bisa memahami mana yang boleh diambil dan mana yang harus ditolak dalam perkembangan jaman. (hizb-ut-tahrir.info 08/01/2019)
Khatimah
Pada akhirnya kita menyadari, sejarah peradaban Islam adalah sejarah yang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan literasi. Literasi sendiri bahkan menjadi api penyala peradaban dengan perpustakaan sebagai dapur pacu peradaban. Namun saat ini umat Islam masih kehilangan jati dirinya untuk menghidupkan kembali tradisi pengetahuan.
Umat Islam kehilangan semangat dalam membaca, berdiskusi, dan menulis yang justru hal tersebut tumbuh pada bangsa-bangsa Eropa. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa kini umat Islam menjadi umat yang memprihatinkan di berbagai belahan dunia.
Jika kita ingin meraih kejayaan Islam kembali, tentu semangat literasi dan mencintai ilmu pengetahuan harus segera ditumbuhkan di tengah kalangan umat Islam, bukannya justru menolak ilmu pengetahuan. Dengan berlandaskan pada Akidah Islamiyyah, semangat literasi, dan mencintai ilmu pengetahuan bukanlah sebuah hal yang mustahil jika kejayaan Islam pada masa lalu akan terulang kembali.