Oleh: Rahmi, S.Si (Penulis, Pemerhati Media)
Momen Aksi Bela Tauhid - Reuni 212 pada 2 Desember kemarin agaknya masih menyisakan kesan mendalam bagi kaum muslimin. Tidak saja bagi mereka yang hadir dan turut menyaksikan secara langsung. Tetapi juga bagi mereka yang mengikuti perkembangan aksi baik dari gawai, siaran televisi maupun lewat cerita dari mulut ke mulut.
Reuni 212 ini patut diapresiasi sebagai salah satu momen bersejarah di Indonesia. Sedari awal, aksi berlangsung damai dan tertib. Tidak ada caci maki dan tindakan anarkis. Bahkan, untuk mengawalinya dibuka dengan shalat tahajud dan subuh berjamaah. Sebuah ritual yang baik dan berkah sebagai pembuka sebuah aksi kolosal yang dihadiri jutaan orang.
Banyak pelajaran yang bisa diambil paska reuni 212. Orang-orang yang hadir saling berlomba untuk memberi seperti tak takut jatuh miskin. Mereka berupaya menyodorkan harta 'terbaik' yang dimiliki. Tidak hanya sumbangsih harta, tetapi juga pemikiran dan tenaga. Sebuah keterasingan akhlak yang mulai langka dan dianggap 'wah' jika ditemukan pada pribadi umat ini.
Aksi ini juga seakan ingin menunjukkan bahwa umat Islam amat menjunjung tinggi persatuan. Mereka benar-benar menghayati spirit sila ketiga pancasila. Betapa perbedaan usia, warna kulit, jenis kelamin, tempat tinggal bahkan perbedaan organisasi tak menghalangi mereka untuk berkumpul merapatkan barisan dan menyatukan hati.
Berkumpulnya mayoritas umat Islam dalam aksi ini, sekaligus ingin menunjukkan kepada dunia bahwa pengemban Islam itu masih ada. Keberadaan mereka tak bisa dipandang sebelah mata. Jika sebelumnya mereka dianggap buih yang terserak di lautan, namun kali ini buih itu sedang menjelma menjadi sosok menakutkan yang mampu menggentarkan pihak lawan.
Kini setelah beberapa hari agenda itu berlalu, apakah spirit 212 itu masih tersisa? Ataukah momen sakral itu hanya dimanfaatkan sebagai ajang melepas euforia akan bangkitnya geliat keislaman. Jangan sampai kita berhenti sebatas melakukan aksi, tetapi melupakan esensi ketauhidan sebenarnya.
Sejatinya, umat tak cukup dihimpun bermodalkan perasaan dan keinginan sesaat belaka. Sebab, perasaan adalah ikatan dan motivasi yang paling lemah. Meskipun perasaan mampu membangkitkan ghirah dan spirit dalam berislam, namun sifatnya temporal, tidak akan mampu bertahan dalam waktu yang lama.
Berbeda halnya jika umat disuasanakan dalam satu pemikiran, perasaan dan peraturan. Ini akan membuat spirit mereka senantiasa menyala-nyala. Sebab spirit itu berangkat dari kesadaran emosional yang berpadu dengan pemikiran yang pasti sulit untuk diubah. Di samping itu, dengan adanya aturan secara tidak langsung mampu mengkondisikan umat agar taat pada perintah Rabb-Nya.
Upaya untuk menyatukan pemikiran, perasaan dan peraturan ini tentu bukanlah upaya 'simsalabim' dan langsung jadi. Mengusahakannya tentu memerlukan upaya dakwah yang kontinu. Umat dibimbing agar mengambil pemikiran Islam yang benar, termasuk dalam memaknai persatuan dan esensi tauhid itu sendiri.
Sebab, tauhid tak cukup diendapkan di palung hati dan diikrarkan di ujung lidah. Tidaklah dikatakan menjunjung tinggi aspek ketauhidan jika umat berkumpul menyuarakan Islam sementara habitat di mana mereka hidup tidak menerapkan aturan Islam. Sebagaimana iman, ia menunggu realisasi nyata untuk dieksekusi dalam seluruh aspek kehidupan.
Semoga aksi 212 kali ini menjadi pelajaran penting bagi umat sekaligus menjadi titik awal geliat Islam di Nusantara. Semoga, kedepannya kita diizinkan berjumpa lagi dengan aksi yang lebih khidmat, bersama saudara-saudari kita di seluruh belahan dunia. Membayangkan kita berada di bawah naungan negara yang mengaplikasikan seluruh pokok ajaran tauhid yang bersumber dari Alquran dan As-sunnah. Itulah sejatinya tauhid.
Wallahu a'lam