Ummu Yazid
Pemerhati Masalah Sosial
Tiada asap tanpa api. Kiranya tepat peribahasa tersebut menggambarkan musibah banjir yang melanda sebagian wilayah Sulawesi Selatan. Meski segala musibah mutlak disandarkan pada takdir Yang Kuasa, namun bukankah ada andil tangan manusia di dalamnya?
Banjir yang terjadi beberapa waktu yang lalu jelas masih menyisakan duka. Mengutip dari tribunnews, hingga 27/1/2019, tercatat 188 desa terdampak bencana di 71 kecamatan yang tersebar di 13 kabupaten/kota yaitu Jeneponto, Maros, Gowa, Kota Makassar, Soppeng, Wajo, Barru, Pangkep, Sidrap , Bantaeng, Takalar, Selayar, dan Sinjai.
Dampak bencana tercatat 68 orang meninggal, 7 orang hilang, 47 orang luka-luka, dan 6.757 orang mengungsi.
Kerusakan fisik meliputi 550 unit rumah rusak (33 unit hanyut, 459 rusak berat, 30 rusak sedang, 23 rusak ringan, 5 tertimbun), 5.198 unit rumah terendam, 16,2 km jalan terdampak, 13.326 hektar sawah terdampak dan 34 jembatan, 2 pasar, 12 unit fasilitas peribadatan, 8 fasilitas pemerintah, dan 65 unit sekolah.
Meski bantuan kemanusiaan mengalir dari berbagai penjuru negeri. Namun tetap saja tak mampu mengusir kesedihan mendalam yang tak terperi. Sebab tragedi bukan kali ini saja terjadi. Bertahun sebelumnya sudah pernah pula menghampiri. Mengapa bisa terulang kembali?
Banyak faktor bisa jadi penyebab. Salah satu yang penting tentu sengkarut penataan tata ruang kota. Hal yang diakui sendiri oleh Walikota Makassar, Mohammad Ramdhan Pomanto beberapa waktu yang lalu. Ia mengakui tata ruang kota masih amburadul. Beberapa yang mendapat sorotan, makin banyaknya bangunan hotel, tapi tidak disertai fasilitas memadai, misalnya masalah parkir yang membuat macet dan buruknya drainase. (inipasti.com, Senin 9/1/2017).
Mengurai Sengkarut Tata Ruang
Pasca musibah, Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), menyatakan tiga daerah di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) melanggar tata ruang.
“Kami melakukan audit di tiga kabupaten atau kota di Sulsel, yaitu Kota Makassar, Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Takalar. Di kabupaten atau kota tersebut ditemukan ketidaksesuaian pemanfaatan ruang,” ujar Direktur Pembinaan Perencanaan Tata Ruang dan Pemanfaatan Ruang Daerah Kementerian ATR/BPN, Reny Windyawati. Dia mengatakan, ketidaksesuaian pemanfaatan ruang itu paling banyak ditemukan di kawasan sempadan, di antaranya sempadan sungai dan pantai.
Selain itu, ruang yang tidak sesuai peruntukan juga ditemukan di kawasan pertanian, hutan lindung, dan ruang terbuka hijau (RTH).
Bila tak sesuai peruntukan, lantas dimanfaatkan untuk apa? Reny pun menemukan kenyataan di lapangan, ternyata di berbagai kawasan itu digunakan untuk perumahan dan area komersial. (kompas.com, Sabtu, 26/1/2018).
Tak pelak, aroma fulus pun terembus. Siapa lagi kalau bukan dari pihak pengembang yang membangun. Bagaimana dengan yang memberi izin? Namun pembelaan datang dari walikota yang mengatakan bahwa Makassar sama saja dengan daerah lain seperti Jakarta misalnya. Jakarta pun banyak tata ruang yang dilanggar. “Tata ruang itu jangka panjang, tata ruang hari ini dibuat 10 atau 15 tahun lalu," ungkap Danny. Namun di saat bersamaan ia mengakui bahwa bencana ini akibat tata ruang tak pas. Terbukti dengan adanya rumah-rumah yang dibangun di lahan resapan air. Ditambah lagi setiap pembangunan tak terkoneksi tata air atau drainasenya. Untuk itu pihaknya akan menindak para pengembang perumahan yang melakukan pelanggaran. (tribuntimur.com, Senin, 28/1/2019).
Pada akhirnya tinggal kita duduk tepekur. Haruskah menunggu nasi menjadi bubur, baru pelanggaran digempur?
Tata Ruang yang Rapi, Mesti!
Penataan ruang didefinisikan sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Di dalam proses tersebut, suatu lahan atau wilayah ditentukan peruntukannya apa. Bentuk peruntukkannya dimanifestasikan dalam suatu peta tata ruang. Misal suatu wilayah ditentukan sebagai zona pemukiman. Maka pembangunannya harus dilengkapi dengan drainase yang rapi dan fasilitas umum lainnya. Wajar jika kemudian banyak yang merindukan untuk tinggal di kota yang dilahirkan dengan perencanaan matang dan canggih dilengkapi fasilitas publik yang lengkap dan manusiawi.
Jadi terbayang bila Islam dijadikan sandaran. Deen sempurna yang diturunkan Sang Pemilik Kesempurnaan. Mengatur segala aspek kehidupan termasuk tata ruang yang mapan. Pembahasan tentang penataan ruang sendiri telah ditulis oleh para ulama sejak dahulu dalam kitab-kitab fikih mereka. Di antara ulama yang menuliskan tentang tata ruang adalah Imam Al-Mawardi dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Ulama lain yakni Ibn ar-Rami menulis kitab yang khusus membahasnya dalam kitab yang dianggap sebagai kitab fikih bangunan dan infrastruktur dengan judul al-I’lan bi Ahkami al-Bunyan.
Dengan demikian persoalan penataan ruang bukanlah hal baru bagi umat Islam. Pelaksanaannya diserahkan pada negara. Sehingga penataan ruang Islami mempunyai keunikan serta keunggulan tersendiri. Selain pertimbangan teknis Islam juga memperhatikan sisi ideologis dari pembenahan tata ruang.
Sebagai perbandingan, sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan kini menyerahkan permasalahan tata ruang ke mekanisme pasar. Akibatnya banyak terjadi konversi lahan pertanian dan serapan air yang menjelma menjadi mal ,pertokoan dan hotel berbintang. Apalagi jika pejabat pemberi izin mudah untuk dibujuk rayu para pengembang yang bermodal. Dampaknya sangat besar. Jumlah produksi hasil pertanian dapat menurun. Para petani kehilangan lahannya. Pengangguran meningkat. Rawan banjir pun melejit. Pada gilirannya ini memunculkan persoalan tata ruang lainnya.
Islam sebaliknya. Dalam Islam, pengambilan kebijakan publik tidak selalu diserahkan kepada mekanisme pasar dan suara terbanyak. Jika suatu masalah menuntut keputusan berdasarkan keahlian maka para ahli yang akan diambil pendapatnya. Berdasarkan pendapat ahli, maka penguasa dapat memutuskan pengaturan yang tepat. Tidak diserahkan pada keinginan para pemilik modal. Sehingga bias kepentingan ekonomi sesaat bisa dihindari untuk kepentingan umum yang lebih besar. Negara juga akan dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara, sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum. Termasuk ruang terbuka hijau di dalamnya.
Sejarah mencatat dengan tinta emas kota- kota terbesar di masa kejayaan Islam. Bagdad, Cordoba dan Konstatinopel di antaranya. Meski berpenduduk besar, Baghdad maupun Cordoba adalah kota yang rapi tatanannya, dilengkapi saluran sanitasi bawah tanah dalam bentuk gorong-gorong. Ruas jalannya cukup luas dan bersih serta mempunyai penerangan di malam hari. Kondisi ini jauh berbeda dengan kota-kota di Eropa kala itu. Kota-kota tersebut banyak yang kotor dan kumuh serta gelap di malam hari.
Untuk memenuhi kebutuhan penduduknya, dalam radius tertentu, dibangun fasilitas ibadah, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Ada juga pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah. Fasilitas ini dapat ditempuh dengan jarak berjalan kaki yang tidak terlalu jauh sehingga memudahkan penduduk memenuhi kebutuhan mereka.
Demikian tata ruang yang rapi dapat teratasi dengan Islam. Saatnya memetik pelajaran agar banjir berhenti mengamuk. Wallaahu a’lam.