Oleh: Atina Sofiani (Aktivis Muslimah)
Impor pangan terus berlanjut hingga detik ini. Pemerintah bahkan tidak memerhatikan nasib petani lokal yang terus menjerit akan hasil panen mereka. Bagaimana tidak, jika pemerintah mengimpor seluruh pangan melalui negara asing lalu mau dikemanakan hasil panen mereka?.
Seperti dilansir dari beberapa artikel, “menjelang pemilu, tiba-tiba indonesia mengimpor gula tersebar didunia. Praktik rente gila-gilaan seperti ini berkontribusi memperburuk defisit perdagangan” Ujar Faisal Basri _(Tempo.co,Jakarta)_
“kementrian perdagangan memastikan Indonesia akan kedatangan 60 ribu ton jagung impor hingga maret 2019. Jumlah ini diperoleh setelah pemerintah memutuskan menambah impor jagung untuk kebutuhan pakan ternak sebanyak 30 ribu ton, februari mendatang” _(trito.id-vft/abd)_
Bukan hanya itu, studi NSEAS pada September 2018 menyebutkan Indonesia masih ketergantungan impor sebanyak 29 komoditas pertanian dari beragam negara seperti beras dan beras khusus, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging lembu, kentang dsb.
Realitas ini menunjukan bahwa target kedaulatan pangan tinggal janji. Rezim ini tidak benar-benar serius merealisasikannya. Di tengah meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat pemerintah justru menggantungkan pemenuhannya terhadap impor. Mengapa kedaulatan pangan tidak tercapai dan ketergantungan kepada impor menguat?
Gagalnya rezim ini mewujudkan kedaulatan pangan dikarenakan masih menggunakan paradigma bathil Neoliberal untuk pengelola pangan. Kehadiran pemerintah hanya sebagai regulator dan fasilitator untuk membuat aturan dan regulasi, walaupun aturan yang dibuat merupakan kebijakan yang teledor.
Sementara untuk pemenuhan hajat rakyat diserahkan kepada pasar (korporasi) untuk meminimalisasi peran pemerintah dalam mengurusi hajat rakyat.
Seharusnya negara mempunyai visi yang jelas mewujudkan kedaulatan pangan dan berperan sebagai pelayan rakyat bukan sebagai pembisnis. Karena tugas utama pemerintah adalah melayani rakyatnya bukan menghilangkan pelayanan rakyat.
Jika hilangnya kendali negara terhadap urusan pangan dapat menyebabkan kecarutmarutan.
Bahkan jika negara terus mengimpor kebutuhan pangan, untuk apa para petani bekerja keras mencukupi kebutuhan masyarakat jika hasil panennya tidak dimanfaatkan semestinya atau bisa jadi tidak laku dipasaran karena kalah dengan impor. Bukankah itu memperburuk ekonomi para petani lokal, karena uang yang mereka hasilkan lebih sedikit dari biasanya.
Jika seperti ini maka sistem ekonomi saat ini tidak adil melainkan ekonomi yang pro kapitalis (pemodal).
Tampaklah bahwa Neoliberalisasilah yang telah menggagalkan kedaulatan pangan dan menyebabkan kisruh dalam tata kelola pangan.
Ending dari penerapan sistem ini hanyalah membuat rakyat sengsara dan menderita. Oleh karena itu, sudah jelas sistem saat ini tidak layak diterapkan dengan kehidupan masyarakat. Karena banyak sekali keberpihakan dan ketergantungan kepada asing.
Hanya sistem islam yang mampu mengatasi ekonomi saat ini dengan ekonomi islam bukan ekonomi pro kapitalis. Mengapa? Karena dalam islam negara berkewajiban melindungi rakyat dan mencegah ketergantungan kepada asing. Karena menggantungkan pemenuhan pangan melalui impor dari negara lain menjadi jalan untuk menguasai kaum muslim dan ini merupakan sesuatu yang diharamkan.
Ketika daulah islam berdiri masalah ekonomi umat menjadi suatu perhatian.
Diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah bersabda _"Kemiskinan membawa orang kepada kekafiran_" Jadi dapat dilihat jika kemiskinan terus terjadi, maka akan banyak umat muslim yang terjerumus dalam kekafiran. Dan itu lambat laun mengakibatkan kehancuran dalam sebuah negara.
Pada dasarnya pemerintah mempunyai 2 peran yang tak tergantikan sebagai raain (pelayan) dan junnah (pelindung). Hal ini juga ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadist beliau bersabda _"Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya”_ (HR.Muslim dan Ahmad)
Tanggung jawab ini mutlak dan tidak boleh dialihkan kepada pihak lain apalagi korporasi.
Wujud tanggungjawab seorang Khilafah dalam pengelolaan pangan dengan mendukung penuh usaha pertanian yang dilakukan rakyat seperti memberikan kemudahan mengakses bibit terbaik, menyalurkan bantuan subsidi, membangun infrastruktur pertanian atau teknologi pertanian baru, dsb. Termasuk menyelenggarakan riset-riset, pendidikan, pelatihan dan pengembagan. Negara juga menerapkan hukum pertahanan dalam islam sehingga tidak ada penguasaan lahan dan menjamin semua tanah dapat terkelola secara maksimal.
Begitupula dalam hal distribusi jika kondisi harga tidak normal, khilafah akan mengambil dua kebijakan yaitu menghilangkan penyebab distorsi pasar seperi penimbunan dan menjaga keseimbangan _supply_ dan _demand_. Sehingga pemenuhan pangan rakyat terjamin secara merata, mencukupi dan harganya terjangkau.
Dukungan yang diberikan negara secara total untuk petani membantu mereka untuk menggairahkan semangat dan usaha para petani lokal.
Jadi ketika negara ini mempunyai sumber daya alam yang melimpah ruah dianugerahkan oleh Allah SWT, maka pemenuhan dan pengelolaan pangan bisa terwujud secara mandiri tanpa bantuan dan ketergantungan pada pihak asing.
Wallahu'alam bishawab