Wd. Deli Ana
(Pengajar)
Miskin itu kondisi hidup, sederhana itu gaya hidup._(Cak Lontong)
Kembali jagat berita dihebohkan dengan kabar penggerebekan kasus prostitusi online melibatkan artis. Mengutip dari cnnindonesia, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Timur (Ditreskrimsus Polda Jatim) menangkap dua artis film televisi (FTV) berinisial VA dan AS karena diduga terlibat dalam prostitusi daring (online).
Penangkapan praktik prostitusi itu dilakukan polisi pada Sabtu (5/1) pukul 12.30 WIB siang tadi di sebuah hotel di Surabaya. Sejumlah orang yang diduga terlibat pun digelandang di Mapolda Jatim.
"Polda Jatim mengamankan empat orang saksi, dua artis, dua manajemen, satu tersangka yang diduga melaksanakan transaksi elektronik prostitusi," kata Wadir Reskrimsus Polda Jatim AKBP Arman Asmara. (cnnindonesia.com, 5/1/2019).
Belakangan usai dibebaskan, sang artis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak atas perbuatan yang menimbulkan kegaduhan yang dilakukan dirinya.(okezone.com, 6/1/2019).
Hedonis, Gaya Hidup Bukan Semata Kebutuhan
Merujuk pada KBBI, hedonisme bermakna pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.
Tak bisa dipungkiri hedonisme dalang di balik gaya hidup mentereng sebagian selebriti, meski tak semua demikian. Mengukur segala sesuatu dengan berlimpahnya materi bin uang. Sebab label artis sudah tentu menuntut penampilan prima. Konsekuensinya harus didukung oleh gaya hidup dan selera tinggi. Barang-barang branded mulai dari sepatu, tas, kostum, kosmetik, parfum dan perhiasan seolah melekat di kehidupan selebriti. Namun apa jadinya bila lebih besar pasak dari tiang? Bukan tak mungkin jalan pintas ditempuh meski kehormatan melayang.
Mengutip komentar seorang psikolog asal Universitas Indonesia (UI) Mira Amir,
“Beberapa orang dalam kasus tersebut merasa bahwa dia harus tampil dengan harga tertentu, kalau dari kacamata awam juga ya, waduh banyak banget ya, harga segitu (Rp80 juta) cuma bisa buat gitu doang, padahal dengan uang segitu sudah bisa beli rumah," papar Mira saat berbincang dengan Okezone (6/1/2019).
Komentar tersebut dilontarkan setelah sebelumnya menanggapi fenomena artis terlibat bisnis 'esek-esek' via online. Menurut Mira, hal itu tidak terlepas dari gaya kehidupan sebagai bintang sinetron. Mirisnya lagi harga Rp80 juta yang ditarifkan untuk sekali kencan dengan Vanessa bukanlah harga yang relatif mahal untuk para artis yang high class.
Tara de Thouars, BS, M.Psi, seorang konsultasi psikologi juga bertutur hal senada. Bahwasanya faktor pemenuhan kebutuhan gaya hidup sebagai alasan yang kuat membuat para artis lebih rentan masuk ke dunia prostitusi. Status sosial yang berbeda, membuat artis memiliki kebutuhan psikologis tertentu yang harus dipenuhi yaitu kebutuhan untuk pandang atau dinilai positif oleh orang lain, dan kebutuhan untuk mempertahankan posisi serta statusnya sebagai artis. (jitunews.com,jakarta).
Hedonisme Anak Kandung Kapitalisme
Bak peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya, demikianlah relasi hedonisme dan kapitalisme. Pohonnya ideologi kapitalisme, membuahkan hedonisme.
Sebabnya jelas, mendudukkan materi dan kebebasan individu di atas segalanya sejak lama jadi trademark ideologi ini. Tak heran bila pada halal dan haram jadi tak peduli. Asalkan senang dan mendatangkan manfaat semata bagi diri. Masalah orang lain dan masyarakat bisa rusak itu soal nanti.
Nyatanya kerusakan memang terjadi. Semakin lama semakin parah selama ideologi ini masih menginfeksi. Kasus prostitusi daring yang terungkap bukan hanya kali ini. Sebelumnya sudah pernah terjadi. Pada 2015 silam, Satuan Unit Resor Kriminal Umum Polres Metro, Jakarta Selatan menangkap seorang mucikari bernama Robby Abbas bersama seorang model seksi. Fenomena gunung es tak ayal ditengarai. Terlihat sedikit d permukaan sedang yang tersembunyi lebih besar lagi. Belumkah saatnya mencari solusi yang selesai?
Islam Solusi Tuntas!
Islam meniscayakan kehidupan dunia yang singkat sementara akhirat kekal adanya. Meski dunia bergelimang kesenangan namun tetap saja hanya sementara. Sama sekali tak layak akhirat ditukar dengan dunia. Terlebih bila meyakini kelak di Yaumil Akhir hisab kan menimpa. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda :
“Dua telapak kaki manusia akan selalu tegak (dihadapan Allah), hingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia pergunakan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan, dan tentang tubuhnya untuk apa ia korbankan” (HR. Tirmidzi dari Abu Barzah ra.)
Hadits mulia di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa setiap manusia akan diminta pertanggungjawaban terhadap empat perkara, yakni tentang umurnya, ilmunya, hartanya, dan tubuhnya. Tentang umur, ilmu dan tubuhnya setiap orang hanya ditanya satu perkara, sedang berkaitan dengan harta setiap orang akan ditanya dengan dua perkara, yakni dari mana hartanya diperoleh dan digunakan untuk apa.
Hanya saja dalam Islam terdapat tiga pilar yang saling mendukung. Selain keimanan individu yang meyakini hisab di akhirat, juga kontrol dari masyarakat dan penjagaan oleh negara. Masyarakat yang peduli dan negara yang mengurusi dalam sistem Islam pada gilirannya akan mewujudkan kehidupan yang berkah di akhirat, pastinya juga di dunia.
Khusus untuk penanganan media , termasuk media daring maupun cetak dan elektronik yang kini sering disalahgunakan, negara bertanggungjawab mengatasinya. Oleh negara dalam Islam, media ditempatkan pada posisi sebagai alat konstruktif untuk memelihara identitas keislaman masyarakat, tanpa melarang unsur hiburan (entertainment) yang sehat sesuai syariat. Tidak seperti sekarang, media, termasuk sosial media telah menjadi alat destruktif untuk menghancurkan nilai-nilai Islam, dengan mengeksploitasi hiburan yang berlumuran dosa dan membejatkan moral. Termasuk rawan dijadikan sebagai ajang prostitusi. Na’udzubillah min dzalik.