Oleh : Ita Djamari (Revowriter)
Kabar menggembirakan datang dari Ustadz Abu Bakar Baasyir. Ustadz sepuh tersebut didakwa melakukan tindakan penggalangan dana pelatihan bersenjata untuk teroris. Pengadilan memutuskan beliau bersalah dan mendapat hukuman 15 tahun penjara. Beberapa hari yang lalu khalayak dikagetkan dengan warta pembebasan beliau. Kaum muslimin di tanah air menyambut baik kabar ini.
Pembebasan ini diklaim atas dasar kemanusiaan. “Begini, kan sudah saya sampaikan bahwa karena kemanusiaan dan Ustadz Abu Bakar Baasyir sudah sepuh, kesehatannya juga sering terganggu. Bayangkan kalau kita sebagai anak melihat orang tua kita sakit-sakitan seperti itu. Itulah yang saya sampaikan secara kemanusiaan,” imbuhnya.
Namun upaya pembebasan Ustaz Abu Bakar Baasyir dipastikan gagal. Pemerintah mengkaji ulang rencana pembebasan tersebut. Pernyataan resmi pemerintah disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto secara tegas menyatakan, “(Pembebasan Baasyir) masih perlu dipertimbangkan dari aspek-aspek lainnya. Seperti aspek idiologi Pancasila, NKRI, hukum dan lain sebagainya.” (21/1/2019).
Presiden Joko Widodo menegaskan kembali pembebasan Ustadz Abu Bakar Baasyir merupakan pembebasan bersyarat, bukan bebas murni. “Ada mekanisme hukum yang harus kita lalui. Ini namanya pembebasan bersyarat. Bukan pembebasan murni, pembebasan bersyarat. Nah syaratnya harus dipenuhi.” (22/1/2019).
Pembatalan pembebasan Ustadz Abu Bakar Baasyir ditengarai oleh tiga perkara. Pertama, tidak memenuhi syarat formil. Bagi kasus terorisme diharuskan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar tindak pidana yang dilakukan. Termasuk juga menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan pemohon dijatuhi hukuman pidana. Ustadz Abu Bakar Baasyir sendiri tidak pernah mengakui terlibat terorisme seperti yang dituduhkan pemerintah.
Kedua, menurut kuasa hukum Ustadz Abu Bakar Baasyir, Mahendradatta, “Mengenai Ustadz tidak mau menandatangani kesetiaan terhadap Pancasila, itu perlu saya jelaskan, yang Ustadz tidak mau tanda tangan itu satu ikatan dokumen macam-macam,” (21/1/2019). Mahendradatta menjelaskan bahwa salah satu dokumen itu adalah janji untuk tidak melakukan tindak pidana yang pernah dilakukan. Sedangkan Ustadz Abu Bakar Baasyir tidak merasan melakukan tuduhan tersebut. Sehingga beliau tidak mau menandatangani dokumen. Jika membubuhkan tanda tangan maka bisa diartikan bahwa beliau mengakui kesalahannya.
Ketiga, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Yasonna H Laoly, menegaskan masih akan mengkaji pembebasan Ustadz Abu Bakar Baasyir dengan kementrian terkiat lainnya. Di antaranya Kementrian Luar Negeri, Kepolisian, Kemenkopolhukam, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Dari ketiga hal tersebut, bisa dipastikan selama Ustadz Abu Bakar Baasyir belum memenuhi syarat yang diajukan pemerintah, maka pembebasan hanya berupa angan belaka. Toh yang semula mempertimbangkan kondisi kesehatan beliau tidak lagi menjadi poin utama.
Kemunculan kasus terorisme di dunia Islam sejatinya tak lepas dari upaya Barat dalam War on Terorism. Barat membidik umat Islam saat mengarahkan tuduhan aksi teroris. Sebutan teroris ini pun hanya ditujukan kepada umat Islam. Bahkan sebelum terbukti di pengadilan, gampang sekali mereka memuntahkan peluru melumpuhkan tertuduh teroris.
Atas dasar menumpas terorisme, Barat bahkan menyerang negeri-negeri muslim yang tidak mau tunduk dengan arahannya. Afghanistan, Irak, Suriah dan negeri muslim lainnya yang tidak mengikuti arahan barat, diserang habis-habisan. Memerangi terorisme hanyalah alibi untuk memusuhi negeri muslim.
Riak kebangkitan umat Islam di penjuru negeri sengaja diredam dengan isu terorisme. Umat Islam dijauhkan dari pemikiran Islam dan fitrah alamiah untuk bersatu atas ikatan akidah. Bangsa Barat tentu saja tidak mengharapkan persatuan atas dasar akidah tumbuh subur. Untuk menghambatnya mereka melakukan berbagai upaya. Salah satunya adalah menstigma negatif pengemban dakwah Islam kaffah. Kemudian diciptakan momok menakutkan jika Islam bangkit. Maka terciptalah istilah terorisme.
Oleh karena itu tidak bisa kita pungkiri untuk terus menyerukan kebenaran Islam guna mengantam ide buruk yang dilontarkan Barat. Perang pemikiran yang juga dibentengi stempel undang-undang zalim ini seyogyanya tidak menyurutkan langkah pengemban dakwah. Sudah banyak contoh pejuang yang mengalami intimidasi tapi mereka tidak gentar. Berjuang atau tidak, kematian tetap akan datang. Justru dengan memantapkan berjuang di jalan dakwah, hidup mempunyai makna yang sulit dipadankan dengan gelar dunia.
Wallahu'alam bishowab.