drg. Endartini
(Praktisi Kesehatan)
Baru-baru ini, BPS Provinsi Sulawesi Tenggara memyampaikan hasil terkait angka kemiskinan yang dinilainya mengalami penurunan. Seperti dilansir dalam media online kalosaranews (kalosaranews.com, 2019/01/15), Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sultra Mohamad Edy Mahmud mengungkapkan, dalam tiga tahun terakhir penurunan presentase penduduk miskin Sulawesi Tenggara turun sebesar 2,42 persen, artinya dalam satu tahun berkisar 0,8 persen penurunan tingkat kemiskinan. Sementara di daerah perdesaan pada September 2018 persentase penduduk miskin sebesar 14,07 persen turun 0,70 poin terhadap Maret 2018 (14,77 persen). Jadi Selama periode Maret – September 2018, Garis Kemiskinan naik sebesar 4,32 persen, yaitu dari Rp 303.618,- per kapita per bulan pada Maret 2018 menjadi Rp 316.729,- per kapita per bulan pada September 2018.
Menyoal Standar Kemiskinan
Ekonom senior Rizal Ramli menuturkan terkait penurunan angka kemiskinan di Indonesia yang dinilainya semu. Menurutnya perhitungan tersebut terkesan menjebak. "Soal kemiskinan, BPS mungkin benar angka kemiskinan turun. Tetapi definisi kemiskinan yang dipakai kurang dari Rp 14 ribu per hari, hanya sekitar Rp 13.400," ujar dia. Seperti yang diketahui, beberapa waktu lalu BPS merilis data, yang menyatakan angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2018 turun jadi 9,82 persen dari jumlah total penduduk, atau sebanyak 25,95 juta jiwa.
Berdasarkan hal diatas, jelas sekali bahwa standar yang dipakai untuk menentukan kualifikasi kemiskinan adalah berdasarkan pendapatan per hari per masing-masing kepala. Tidak memandang secara menyeluruh kebutuhan dasar per masing-masing individu. Karena bisa jadi dalam 1 keluarga terdiri dari 6 individu yang semuanya tidak bekerja, dan hanya ditanggung oleh 1 orang saja.
Sebaliknya, ada orang yang berpenghasilan sangat besar yang tidak ikut terhitung, karena semuanya dipukul rata pendapatan per kapita rata-rata penduduk. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa pangan, sandang, papan, kesehatan dan keamanan tidak akan terpenuhi jika melihat angka Rp. 13.374 per hari nya. Karena itulah standar yang digunakan untuk menentukan sebuah kondisi kemiskinan tidak bisa dilihat secara global dan dipukul rata berdasarkan pendapatan per hari per orang. Karena akan ada kesenjangan yang teramat besar antara orang yang berpenghasilan kecil dengan orang yang berpenghasilan besar. Melainkan dilihat sejauh mana individu bisa menjangkau kebutuhan dasar itu untuk hidupnya. Jika masih ada individu warganya yang belum bisa menjangkau kebutuhan pokok saja, maka disitulah masih ada warganya yang miskin dan butuh untuk dibenahi. Kebutuhan dasar manusia pada umumnya untuk semua kalangan adalah sama. Jika dia tidak mampu mendapatkan kebutuhan pokok untuk hidupnya, maka orang tersebut masih tergolong miskin.
Ilusi Sejahtera Dalam Angka
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, makna miskin adalah tidak berharta; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah). Sedangkan menurut wikipedia, kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. (wikipedia)
Di era serba kapitalis saat ini, pemenuhan kebutuhan pokok seolah menjadi hal yang istimewa bagi sebagian rakyat. Misalkan mengkonsumsi daging ayam atau daging sapi, hanya mampu dikonsumsi saat momen idul kurban, dimana memang ada jatah pembagian daging sapi. Di luar itu, hanya beberapa golongan saja yang mengonsumsinya secara rutin. Bahkan sembako seperti beras dan jagung, masih susah diperoleh sebagian rakyat, dikarenakan tidak terjangka harganya. Begitu juga konsumsi bahan bakar, seolah telah menjadi barang istimewa yang susah dijangkau oleh rakyat yang tinggal di pelosok. Alih-alih mendapatkannya, malah justru harganya selangit.
Jika pemerintah beralasan karena sarana prasarana yang menjadi kendala pedistribusian barang kebutuhan pokok rakyat, lantas untuk apa amat gencar dibangun infrastruktur dimana-mana? Karena pemerintah berdalih bahwa pembangunan jalan tol difungsikan untuk kemudahan akses bagi rakyat dalam memperoleh barang-barang kebutuhan. Pada kenyataannya, pembangunan infrastruktur tersebut hanya bisa dimanfaatkan oleh kalangan menengah keatas yang notabene menjadi pengusaha dan pedagang. Sedangkan rakyat kecil tetap tak mampu menjangkau barang-barang kebutuhan mereka. Belum lagi persoalan tempat tinggal, yang bisa dilihat secara kasat mata masih banyak rakyat yang tinggal di pinggiran sungai, beratapkan jerami, bahkan ada yang bersebelahan dengan hewan ternak. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan kondisi para pengusaha atau kalangan elit yang rumahnya mewah hingga terbilang milyaran.
Solusi Islam Atasi Kemiskinan
Negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini, masih belum dapat memetakan solusi bagi persoalan kehidupan masyarakat. Padahal di dalam Islam telah jelas memberikan jawabannya.
Dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, bathil, dan bertentangan dengan fakta. Secara i’tiqadiy, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah Swt. untuk manusia pasti mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang shahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut. Islam adalah sistem hidup yang shahih.
Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik kemiskinan alamiyah, kultural, maupun sruktural. Hanya saja, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu.
Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika kaum Muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah.
Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah: “Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya berkata lagi: “Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang diantara mereka memiliki seratus onta”. Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat.