Oleh : Wida Aulia
Fatimah merasa ada yang salah dengan keputusan yang dia ambil ketika suaminya harus berhenti kerja karena harus menjalani pengobatan. Tanpa membicarakan masalah ini terlebih dahulu dengan suaminya, dia langsung mengambil sikap untuk bertukar peran. Fatimah mengambil peran suaminya untuk bekerja mencari nafkah keluar rumah, sedangkan suaminya menggantikan perannya di rumah menjaga anak-anak.
Namun semua berjalan tidak sesuai harapannya, karena Fatimah lupa bahwa bertukar peran tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan, bukan cuma tentang dia dan suaminya. Tapi juga tentang anak-anaknya yang seharusnya juga dia pertimbangkan. Fatimah terhenyak dari lamunannya, dia sadar harus memulainya lagi dari awal sebelum semua terlambat.
Dia beranikan diri memulai pembicaraan pada suaminya, “ Ayah, bagaimana anak-anak? Apa mereka menurut pada ayah?” ucapnya penuh hati-hati karena dia sadar suaminya type orang yang emosional. “ seperti yang kau lihat, semua baik-baik saja “ jawab suaminya.
Fatimah bingung harus mengungkapkan perasaannya seperti apa. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskan pada suaminya mengenai apa yang ia lihat tentang Aisyah di luar sana. Juga bagaimana menjelaskan sikap Ali dan Arsyad yang sudah mulai berubah menjadi kasar. Tanpa sadar buliran bening mengalir dari mata membasahi pipinya, “ aku melihat Aisyah melepas jilbabnya dan pergi berdua dengan teman lelakinya. Aku juga melihat Ali dan Arsyad bertengkar hingga Ali memukul adiknya” ujarnya lirih karena menahan sesak didadanya.
“Lalu kenapa? Apa kamu menyalahkan aku karena tak bisa mengurus mereka? Apa kamu pikir aku ini kepala keluarga yang hanya bisa bermain dengan anak-anak? Apa karna aku sedang sakit sehingga kau mengambil semua peranku dan kau menganggap aku ini lemah tak berdaya. Aku bingung Fatimah, bagaimana aku harus menenangkan Ali dan Arsyad saat mereka merengek. Aku pusing mendengar keributan mereka yang selalu berisik dengan berlarian kesana-kemari. Aku capek dengan Aisyah yang hampir setiap hari minta uang untuk bayar ini dan itu. Aku lelah Fatimah, aku jenuh dengan kondisiku seperti ini. Andai saja aku boleh memilih, lebih baik aku mati”
Fatimah tertegun, kakinya bersimpuh lemas dilantai mendengar curahan hati suaminya. Fatimah merasa bersalah karena menganggap suaminya baik-baik saja ketika mendapat cobaan seperti ini. Kalau Fatimah saja tak memahami suaminya, apalagi anak-anak. Mereka pasti lebih tidak mengerti lagi kenapa sekarang semua berubah dalam keluarganya.
Anak-anak belum mengerti kalau cobaan ini membuat ayah mereka stres berat. Kehilangan pekerjaan dan harus berdiam diri di rumah karena sakit yang diderita. Alih-alih mendapat dukungan justru keluarga besar dan banyak tetangga yang mencibirnya. Ditambah belum adanya pemahaman iman terhadap qodo' dan qadar Allah. Seolah melengkapi setiap celah relung hati yang membuatnya bergejolak.
Harusnya Fatimah paham dan memahamkan keluarganya bahwa ujian adalah cara Allah menguji iman mereka. Satu lagi kesalahan Fatimah, karena dia tidak membicarakan masalah ini dari awal. Dan hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Fatimah harus menyelesaikannya sebelum masalah lain semakin membesar.
Malang, 26 Januari 2019
Bersambung...