Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Kompetisi antar capres-cawapres mulai panas dengan isu keagamaan. Setelah persoalan shalat, kali ini muncul tantangan membaca al-Quran bagi masing-masing pasangan capres-cawapres. Yang melontarkan gagasan ini adalah Ketua Dewan Pimpinan Ikatan Dai Aceh, Tgk Marsyuddin Ishak, di Banda Aceh. “Untuk mengakhiri polemik keislaman capres dan cawapres, kami mengusulkan tes baca al-Quran kepada kedua pasangan calon,” kata Tgk Marsyuddin Ishak di penghujung bulan Desember 2018.
Setiap Muslim tentu didorong untuk gemar membaca al-Quran dan menghiasi lisan mereka dengan tilawah yang mulia ini. Allah SWT berfirman:
Sungguh orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan shalat serta menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itulah yang mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi (TQS Fathir [35]: 29).
Bacalah al-Quran karena sungguh pada Hari Kiamat ia akan menjadi syafaat bagi para pembacanya (HR Muslim).
Setiap Muslim diperintahkan untuk membaca al-Quran dengan tartil. Jelas pelafalan huruf demi hurufnya dan penuh dengan kekhusyukan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
Bacalah al-Quran itu dengan tartil (TQS al-Muzammil [73]: 4).
Menurut Ibnu Katsir, tartil pada ayat ini bermakna membaca al-Quran secara perlahan. Menurut Imam an-Nawawi, para ulama telah sepakat atas sunnahnya membaca al-Quran secara tartil.
Semua amalan tilawah al-Quran dilakukan dengan niat ikhlas mengharap ridha Allah SWT. Bukan untuk mendapatkan popularitas, menaikkan elektabilitas dan menjatuhkan orang lain. Bahkan Nabi saw. menceritakan buruknya nasib orang yang mengajarkan Kitabullah karena mengharapkan pujian dari manusia.
Dihadapkanlah seseorang yang mempelajari dan mengajarkan ilmu serta membaca al-Quran. Lalu diperlihatkan kepada dia kenikmatannya (saat di dunia). Ia pun mengakuinya. Lalu ditanyakan kepada dia, “Apa amalmu?” Ia menjawab, “Aku mempelajari dan mengajarkan ilmu dan aku pun membaca al-Quran karena-Mu.” Allah berkata, “Engkau berdusta! Akan tetapi, engkau mempelajari ilmu agar disebut sebagai orang alim dan engkau membaca al-Quran supaya engkau disebut sebagai qari’!” Kemudian ia diperintahkan untuk diseret. Ia lalu diseret di atas wajahnya dan disungkurkan ke neraka (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga mengkhawatirkan datangnya satu kaum yang hanya gemar membagus-baguskan bacaan al-Quran, juga datangnya para pemimpin yang bodoh (imârah sufahâ’) dan para aparat yang zalim.
Kaum Muslim tentu disunnahkan untuk banyak membaca al-Quran. Namun demikian, al-Quran tentu bukan sekadar bacaan. Al-Quran adalah kitab hukum. Al-Quran berisi petunjuk kehidupan dan hukum-hukum yang menyelesaikan berbagai persoalan hidup manusia. Jika membaca al-Quran adalah sunnah, maka mengamalkan isinya atau berhukum dengan hukum-hukumnya adalah wajib.
Sebagaimana diketahui, selain membahas tema akidah, ayat-ayat al-Quran juga menjelaskan hukum-hukum Allah SWT bagi umat manusia mulai dari hukum-hukum seputar ibadah, akhlak, rumah tangga, ekonomi hingga pemerintahan dan militer. Hukum-hukum yang dikandung dalam al-Quran adalah hukum terbaik bagi manusia. Tak bisa ditandingi oleh hukum buatan manusia.
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
Kewajiban berhukum dengan al-Quran adalah perkara yang tak bisa ditawar lagi. Banyak ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk berhukum dengan al-Quran. Allah SWT berfirman:
Hendaklah kamu (Muhammad) memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu (TQS al-Maidah [5]: 49).
Allah SWT juga mengingatkan kaum Muslim agar tidak jatuh menjadi kelompok manusia yang fasik, zalim, bahkan kufur karena tidak berhukum pada hukum-hukum al-Quran.
Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itulah orang-orang fasik (TQS al-Maidah [5]: 47).
Berkaitan dengan ayat-ayat di atas, Imam Ibnu al-Jauzi berkata, “Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan karena menentang hukum itu—dalam keadaan dia mengetahui bahwa Allah telah menurunkannya—sebagaimana sikap kaum Yahudi, maka dia kafir. Adapun siapa saja yang tidak berhukum dengan al-Quran karena kecondongan hawa nafsunya tanpa ada sikap penentangan maka dia adalah orang zalim lagi fasik.” (Ibn al-Jauzi, Zâd al-Masîr, hlm. 386).
Allah SWT pun menegaskan bahwa sikap seorang Muslim, saat telah diberi keputusan hukum oleh Allah dan Rasul-Nya, adalah tidak mencari pilihan yang lain. Ia wajib tetap mematuhi ketetapan Allah dan Rasul-Nya.
Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin maupun perempuan Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah sesat secara nyata (TQS al-Ahzab [33]: 36)
Karena itu, di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim ini, tentu aneh jika dalam kehidupan bernegara hari ini justru semangat sekularisme begitu dielu-elukan. Berulang muncul seruan dari politisi dan pejabat negara agar tidak memasukkan agama ke dalam ranah politik. Seorang politisi mengatakan agar umat jangan baper membawa agama ke ranah politik. Sebab menurut dia, hari ini rakyat sedang memilih presiden, bukan memilih nabi, apalagi memilih tuhan.
Namun ironinya, para politisi sekular itu justru kerap mengeksploitasi agama untuk kepentingan politik mereka. Misalnya, meminta dukungan ulama, memamerkan ibadah dan terakhir menantang kefasihan membaca al-Quran. Tujuannya bukan untuk memuliakan Islam, apalagi menerapkan hukum Islam, tetapi sekadar demi menaikkan pamor kelompoknya dan untuk menjatuhkan kubu lawan.
Demikianlah tabiat politik kaum sekular. Menjauhkan agama dari kehidupan berpolitik dan bernegara. Namun, lain waktu, tanpa malu sama sekali mereka mengeksploitasi agama untuk syahwat politik mereka.
Islam adalah agama paripurna. Al-Quran telah mengatur seluruh aspek kehidupan. Al-Quran adalah satu-satunya kitab suci yang membawa hukum-hukum terbaik dari Allah SWT. Hukum-hukum al-Quran menjamin keberkahan dan kebaikan hidup bagi manusia di dunia dan akhirat.
Allah SWT jelas menurunkan al-Quran tidak hanya untuk dibaca, tetapi untuk dijadikan sebagai pedoman hidup manusia, yang hukum-hukumnya wajib diterapkan dalam kehidupan. Lalu mengapa justru kita tidak menjadikan al-Quran sebagai aturan dalam kehidupan kita?
Karena itu, jangan cuma tantangan untuk membaca al-Quran. Yang lebih layak untuk dijadikan tantangan bagi penguasa atau calon penguasa adalah: beranikah mereka menerapkan hukum-hukum al-Quran? (Tri S).