Al Qur’an Dalam Negara Demokrasi

Oleh : Binti Adib

Dewan Ikatan Dai Aceh mengusulkan adanya tes baca Al Qur’an bagi kedua paslon presiden dan wakil presiden. Mereka mengundang Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga untuk hadir baca  Al Qur’an di Masjid Raya Baiurrahman Banda Aceh, pada 15 Januari 2019.  Menurut Ketua Dewan  Ikatan Dai Aceh , Tgk Marsyuddin, hasil tes baca Al Qur’an tidak akan mempengaruhi keputusan KPU.Justru sebagai langkah awal untuk mengakhiri politik identitas yang sudah terlanjur terjadi(merdeka.com). 

Rencana tes baca Al Qur’an ini mendapat respon pro kontra.  Ada pihak yang setuju dan ada pihak yang tidak setuju,dengan alasan syarat dari KPU  sudah cukup.  Menurut Juru Debat BPN Prabowo-Sandiaga ,Sodik Mudjahid,tapi yang sangat dan lebih  penting adalah  pemahaman  terhadap isinya dan bagaimana mengamalkannya secara demokratis. Namun menurut  Ridlwan Habib, peneliti radikalisme dan gerakan Islam , “Tes baca Al Qur’an bagi seorang calon pemimimpin yang beragama Islam sangat wajar dan sangat demokratis. Justru publik makin tahu kualitas calonnya” (tribunnews.com). Menurutnya tes baca Al Qur’an justru peluang emas bagi masing-masing kubu untuk mendapat simpati dari kelompok pemilih Islam.

Apabila kita cermati wacana tes baca Al Qur’an untuk paslon capres dan cawapres adanya pandangan  kualitas  calon pemimpin  bisa diukur dari kemampuan baca Al Qur’an.  Dalam kaitannya pemilihan presiden dan wakil presiden,kemampuan baca Al Qur’an dapat dimanfaatkan untuk mencari simpati dari calon pemilih muslim. Maka pertanyaan yang muncul sebatas itu kah fungsi Al Qur’an bagi calon pemimpin negara?

Al Qur’an bagi seorang muslim berfungsi sebagai petunjuk.   “ Alif laam miin, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”(Al Baqarah 1-2). Meyakini bahwa Al Qur’an sebagai petunjuk adalah konsekuensi dari keimanan pada Alloh dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Bagi seorang mukmin iman bahwa Alloh sebagai Tuhannya mengutus Rasulullah Muhammad  mengh wahyu dari Tuhannya sebagai petunjuk bagi manusia. Petunjuk dari Alloh itu berupa kitab suci Al Qur’an.

  Al Quran sebagai pedoman hidup manusia dan umat Muslim khususnya. Jika tanpa pegangan atau pedoman, maka manusia akan kehilangan arah. Perjalanan hidup  manusia penuh dengan berbagai persoalan membutuhkan solusi.  Firman Allah yang dihimpun dalam sebuah kitab yang bernama Al Quran, menjadi petunjuk dalam menyikapi berbagai persoalan. Persoalan itu terkait hubungan manusia dengan  dengan Sang Khalik, dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. Al Qur’an merupakan petunjuk sekaligus menjadi dasar hukum bagi manusia dalam menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.  Kehidupan umat manusia pasti akan kacau tanpa pegangan atau pedoman. 

Sebagian hukum di dalam Al Quran hanya bisa dilakukan oleh negara, seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri, sanksi pidana, dan sebagainya. Aturan tersebut tidak boleh dikerjakan individu dan hanya sah dilakukan oleh imam yakni pemerintah atau yang diberi wewenang. Oleh sebab itulah, menjadikan Al Quran sebagai petunjuk pedoman hidup, tidak bisa sempurna kecuali sampai pada penerapan hukum-hukum syariah Islam dalam seluruh elemen kehidupan sepenuhnya.

Kaum muslimin memang diperintahkan untuk mempelajari Al Qur’an dan membacanya. “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” Imam Muslim dalam Shahih-nya, meriwayatkan dari jalan sahabat Abi Umamah al-Bahili  bahwa beliau mendengar Rasulullah n bersabda:

“Bacalah al-Qur’an karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi orang yang membacanya”. Hanya saja, dengan memperhatikan perintah Alloh yang lain seperti dalam QS al Hasyr :7, QS Al Baqarah 208, dan sebagainya bahwa perintah Alloh bukan sekedar membaca Al Qur’an  tetapi mengamalkan seluruh ajaran Rasulullah.

Alloh melarang kaum Muslimin meremehkan petunjuk,peringatan dari Al Qur’an. “Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, ‘Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?’ Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan’.” (Thaha: 124—126)

. Dulu ada ungkapan dari seorang pejabat bahwa agama harus dipisahkan dari politik. Sekarang Al Qur’an dijadikan  alat untuk mencapai tujuan politik. Ini terjadi, karena ini negara demokrasi . Demokrasi lahir dari  aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen –yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan perisai untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama– dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan. Sekulerisme  tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri. Al Qur’an sebagai kitab suci umat Islam tidak diingkari,tetapi kewenangan mengatur hidup manusia ditiadakan. Jadi wajar, jika Al Qur’an sekedar dibaca bukan diamalkan isinya.

Selain itu,dalam sekulerisme dikenal azas manfaat.  Kemanfaatan menjadi standar perbuatan. Jika perbuatan itu  dapat membawa manfaat secara materi,maka akan dilakukan.  Program baca  Al Qur’an jika dapat membantu  tercapainya tujuan maka program itu akan dilakukan. Dan sebaliknya. Begitulah sekulerisme.

Dalam pemilu saat ini dikenal politik pencitraan. Politik pencitraan intinya ingin membuat orang (pemilih) terpesona,kagum,memunculkan rasa ingin tahu,memunculkan kedekatan yang memang sengaja dibangun demi popularitas(stafnew.uny.ac.id). Kemampuan baca Al Qur’an akan dimanfaatkan dalam rangka pencitraan. Kalau Al Qur’an sekedar untuk pencitraan,maka melahirkan pemimpin yang tak seutuhnya memperhatikan isi Al Qur’an. 

Sungguh menyedihkan jika seorang pemimpin pandai  baca Al Qur’an tapi  isinya dilecehkan, para pengajar Al Qur’an dipersekusi,mendakwahkannya di halang-halangi. Di sisi lain, orang  yang menentang Al Qur’an dibiarkan. Yang melecehkan Al Qur’an dirangkul. Pemimpin seperti ini tentu tak layak mendapat dukungan.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak