36x yang Tak Se-Viral 1x80 Juta

Oleh: Arin RM, S.Si

(Member TSC, Freelance Author)


Lagi, Indonesia digemparkan dengan kabar prostitusi online yang melibatkan artis. Dikabarkan artis berinisial VA diamankan dalam sebuah penggerebekan di sebuah hotel di Surabaya yang dilakukan Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim, Sabtu (05/01) siang. Kabar VA terlibat prostitusi online dibenarkan oleh Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Frans Barung Mangera (nova.grid.id, 06/01/2019).

Sebelumnya, kabar serupa juga pernah menggemparkan publik dengan tertangkapnya mucikari berinisial RA yang menggawangi prostitusi berisi deretan daftar nama artis bertarif mahal. Sama-sama menjadi viral. Sama-sama menjadi ulasan di dunia layar kaca hingga beberapa hari. Namun kemudian tenggelam ketika mucikari tersebut sudah masuk bui.

Seperti pendahulunya, kasus awal tahun 2019 yang beken dengan istilah 80 juta ini juga mengundang komentar dari sejumlah pihak. Bagi mereka yang peduli moral bangsa dan masih ada secercah taqwa di dada, tentu menyayangkan terulangnya prostitusi. Namun, bagi mereka yang silau dengan gemerlap dunia, tentu akan mengeluarkan jurus pembelaan dan pemakluman sedemikian rupa dengan dalih HAM nya.

Maka belajar dari perulangan kasus yang tak kunjung tuntas, benarlah jika prostitusi ini merupakan buah dari kenakalan pemikiran. Meminjam istilah dari ustadz ternama, Felix Siauw kenakalan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Kenakalan kelakuan yang masih memungkinkan bagi si pelaku untuk menyesal dan kembali ke jalan yang benar; dan kenakalan pemikiran yang menjadikan kemauan untuk terus menularkan perilakunya kendati nyata menimbulkan kerusakan.

Nampaknya, pada kasus prostitusi ini, pelaku atau artis yang terlibat adalah mereka yang nakal secara kelakuan. Artinya ada kemungkinan mereka untuk sadar dan bertaubat. Sedangkan jaringan penggerak prostitusi, terutama kelas online, besar kemungkinan mereka masuk kategori nakal pemikiran. Kendati sejumlah artis dan mucikari dipanggil kepolisian, mereka terus berupaya meregenerasi kader prostitusi hingga muncul nama berbeda-beda di tahun berikutnya.

Itulah yang berbahaya. Otak dibalik jaringan prostitusi ini telah menikmati keluasan kebebasan yang disajikan alam demokrasi. Pada yang berwajib mereka mungkin takut, sebab tetap ada peluang gerak mereka terendus aparat dan berujung pada penangkapan. Namun, pada kalangan masyarakat yang lain, mereka tak ambil pusing. Sebab mereka punya senjata mengatasnamakan hak asasi, mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Selama mendatangkan keuntungan materi, tentu akan mereka kerjakan.

Apalagi, belakangan ini individualisme di kalangan masyarakat kian meningkat. Masyarakat jarang peduli akan kemaksiatan. Mereka telah disibukkan oleh urusan memenuhi ekonomi dan mengejar kesuksesan materi masing-masing. Sehingga tidak jarang diantaranya yang berpikir bahwa urusan maksiat dan kriminal sudah ada bagian yang menyelesaikan.

Kesempatan ini terus dipakai oleh kapitalisme untuk memanfaatkan setiap peluang. Apapun ditempuh asalkan menghasilkan uang dan kebahagiaan duniawi. Halal haram urusan nanti. Makanya tidak mengherankan jika kemudian prostitusi yang sebenarnya adalah zina dipandang sebelah mata. Dikecam tatkala kasus mencuat dan tak dipikirkan ketika bergerak dibawah tanah.

Begitulah tipu daya materi menjerat nurani. Zina dipersoalkan tatkala viral, sedangkan yang dibungkus casing terhormat seolah tak jadi soal. Dalam hal ini kasus riba misalnya. Kendati 1 dirham yang dimakan dari hasil riba dosanya sama dengan 36x zina (lihat HR. Ahmad dan Al Baihaqi), namun masyarakat tetap berasyik mesra dengan riba. Bahkan selevel negarapun tergiur dengan utangan berbasis riba, bunga berbunga. Dan anehnya hebohnya 36x zina ini tidak mampu menandingi viralnya dugaan prostitusi bertarif 80 juta sekali jalan.

Sungguh disayangkan, padahal Rasulullah bersabda: "Apabila telah marak perzinahan dan praktek Ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah" (HR. Al Hakim). Maka, mraknya riba dan zina yang sedikit terbongkar puncak gunung es nya oleh kasus 80 juta ini adalah kode keras  agar setiap elemen negeri ini segera berbenah. Segera kembali kepada Allah dengan menaatiNya dalam urusan ibadah maupun muamalah.

Semuanya perlu berbenah untuk kembali mempercayakan aturan Allah sebagai satu-satunya aturan yang layak diterapkan. Menghentikan riba dengan segala kemampuan, level personal hingga level negara. Menghentikan prostitusi dengan melaksanakan sanksi Islam. Dan kemudian mengakhiri dominasi ajaran demokrasi yang mengagungkan kebebasan. Kembali pada Islam adalah sebaik-baik pilihan, dan berupaya mengarah kesana dengan mempelajari untuk diamalkan adalah kebenaran perbuatan. [Arin RM]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak