By. Lulu
Day 2🌼
Kisah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia berkata:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِدٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ، حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ عَمَرُ: فَإِنَّهُ اْلآنَ، وَاللهِ، َلأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلآنَ يَا عُمَرُ.
“Kami mengiringi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku cintai melebihi apa pun selain diriku.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.’ Lalu ‘Umar berkata kepada beliau: ‘Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sekarang (engkau benar), wahai ‘Umar.’
(HR. Al-Bukhari (no. 6632), dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu anhu).
**************************
Kisah Umar sebagai pembuka reminder kita di hari kedua. Bahwa gharizah nau' yang ada pada ibu, harus dilandasi oleh iman. Perkara inilah yang nanti akan menentukan posisi ibu di kehidupan yang abadi kelak. Apakah ibu bisa bersama dengan orang-orang yang ibu kasihi di surga, atau sebaliknya di tempat yang buruk yang kita selalu menghindar darinya.
Seorang ibu tentu mencintai anaknya, keluarganya, dan rumah tangganya. Bentuk kecintaan itu akan mendorong ibu untuk menjaga mereka. Mengarahkan pada jalan kebahagiaan, menjauhkan dari mara bahaya. Akan tetapi kecintaan ibu kepada yang demikian, tidak boleh melampaui cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Jika kita membuat skala prioritas, maka hak-hak Allah dan Rasul-Nya kita letakkan pada urutan pertama. Artinya, segala kasih sayang terhadap anak-anak, keluarga dan harta, semata-mata karena kecintaan ibu terhadap Allah. Maka konsekuensi logis dari hal tersebut adalah taat terhadap Allah dan meneladani Rasulullah.
Maka ajarkanlah pada anak-anakmu, ibu, tentang syariat. Tentang aturan main yang dibuat Al Khalik, untuk ciptaan-Nya. Bahwa Allah tidak mungkin membiarkan manusia bertingkah laku sekehendak hatinya, kemudian di yaumul hisab diminta pertanggungjawaban, tidak. Allah sungguh Maha Adil. Dia ciptakan manusia lengkap dengan seperangkat aturan.
Aturan itulah yang mengarahkan gerak dan menjadi tolok ukur kehidupan manusia. Baik itu aturan beribadah, makan, berpakaian, interaksi sesama manusia, perekonomian, dan aturan lainnya. Sampaikan pada anak-anakmu, ibu, bahwa seperangkat aturan tersebut adalah bukti bahwa Allah memuliakan dan menjaga kita. Bukan untuk mengekang atau merendahkan.
Menyayangi mereka dengan tanpa landasan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, akan menjadikan 'cinta buta'. Cinta salah arah, yang justru menjerumuskan anak-anak dan keluarga kita kepada murka Allah. Sebab beraktivitas atas dasar perasaan bukan iman, dan tanpa ilmu. Sehingga tidak memiliki nilai di hadapan Allah.
Allah SWT berfirman:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَـكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
"Katakanlah (Muhammad), Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 31).
Maka, ikuti Rasulullah, ibu. Teladani Rasul. Sebagai bukti cinta kepada Allah. Maka Allah pun serta merta akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Anta ma'a ahbabta, engkau bersama apa yang engkau cintai.