Oleh : Ilma Kurnia P, S.P
(Pemerhati Generasi, Member Revowriter)
Harga kebutuhan pangan di akhir tahun mengalami kenaikan yang cukup mengejutkan masyarakat, terlebih kenaikan harga pangan ini selalu terjadi di setiap akhir tahun. Pemerintah berupaya untuk menjaga stabilitas harga pangan seperti dilansir dalam (Okezone.com,3/12/2018) yang menyatakan bahwa upaya pemerintah, khususnya Kementrian Pertanian untuk menjaga stabilitas harga bahan pangan terlihat menunjukkan hasil positif. Mendekati akhir tahun secara umum harga masih terkendali. Akan tetapi masyarakat sudah mulai mengeluh, dimana kenaikan harga kebutuhan pangan selalu saja mengalami kenaikan yang tidak menentu. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebutkan bahwa ada beberapa komponen penyebab tren kenaikan harga pangan di akhir tahun. Komponen pertama adalag ancaman inflasi yang kemungkinan terjadi di akhir tahun. Menurut Eko Listianto selaku Wakil Direktur Indef menyebut, Inflasi harga yang diatur pemerintah dan inflasi bergejolak kerap menjadi pemicu lonjakan inflasi di Indonesia. Kenaikan inflasi ini bisa dipicu akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM), dan tarif dasar listrik (TDL). Sementara inflasi barang bergejolak kerap kali terjadi ketika permintaan bahan pangan dan makanan mengalami lonjakan menghadapi lebaran, natal, dan tahun baru. Selanjutnya ada masalah impor yang sampai saat ini terus dilakukan pemerintah. Hal ini dinilai tidak berkesudahan menutupi kebutuhan dalam negeri. Padahal ada beberapa komponen pangan yang dapat diberdayakan ditingkat petani dalam negeri, seperti halnya impor beras yang sampai saat ini terus dilakukan.
Menekan Harga Pangan Dalam Syariah
Untuk mengantisipasi lonjakan harga pangan akhir tahun, pemerintah mengambil langkah untuk antisipasi, salah satunya dengan melakukan impor beras agar stok pangan dalam negeri tetap mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Pencadangan beras ini dilakukan tidak hanya yang ada di gudang Bulog tetapi juga berasal dari hasil panen petani. Berdasarkan Angka Ramalan I (ARAM I) tahun 2018, Luas Panen Padi bulan Januari - Agustus 2018 sebesar 12,18 juta ha. Pada periode tersebut diperkirakan produksi padi mencapai 62,76 juta ton GKG, dengan produktivitas sebesar 5,1 ton/hektar. Sehingga produksi beras bulan Januari - Agustus 2018 diperkirakan sebesar 39,37 juta ton. Jika disinkronkan informasi dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kementan) yang membuat perkiraan konsumsi beras nasional pada periode Januari - Agustus 2018 sebesar 21,57 juta ton. Angka ini merupakan perkiraan kebutuhan beras untuk konsumsi rumah tangga dan konsumsi tidak langsung (horeka, industri, dll) sebesar 20,35 juta ton, ditambah perkiraan penggunaan beras non pangan sebesar 1,22 juta ton.
Sehingga Indonesia pada dasarnya mengalami surplus dari hasil pertanian dalam negeri, tanpa mengimpor pun stok yang ada sudah mampu untuk memenuhi permintaan masyarakat. Di Indonesia keadaan ketahanan pangan memiliki dua bagian kepentingan agar masyarakat dapat mengakses pangan dengan harga terjangkau, dan bagaimana kesejahteraan petani dapat terlindungi. Stok pangan yang ada pada faktanya tidak selalu di iringi dengan daya beli masyarakat. Terlebih dengan menurunnya nilai rupiah terhadap dollar berpotensi menimbulkan efek terhadap naiknya harga kebutuhan pokok masyarakat. Artinya, ketersedian pangan ini tetap tidak memiliki pengaruh, sebab masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk memperoleh apa yang mereka butuhkan. Disisi lain, para petani yang sejatinya merupakan kelompok yang paling berjasa dalam mengamankan stok pangan negara, pada akhirnya harus gigit jari ketika negara masih mengadopsi kebijakan impor bahan pangan.
Islam Solusinya
Untuk itu saatnya kembali pada sistem islam yang sudah jelas akan menjamin kesejahteraan masyarakat. Syari'ah menjamin terlaksananya mekanisme pasar dengan baik sehingga tidak akan ada yang namanya penimbunan, monopoli, riba, dan penipuan karena negara wajib memberantas berbagai distorsi pasar. Negara juga harus menyediakan akses informasi mengenai pasar kepada semua orang, hingga meminimalkan informasi yang bisa dimanfaatkan pelaku pasar untuk mengambil keuntungan dengan jalan yang tidak dibenarkan. Karena Islam sendiri juga melarang untuk menimbun dengan menahan stok barang agar harganya naik demi mendapat keuntungan. Abu Umamah al-Bahili berkata: “Rasulullah SAW melarang penimbunan makanan” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Selain itu di dalam islam pemimpin akan memberikan bantuan kepada para petani serta dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk seperti baik modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi, dsb; baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka seluruh lahan yang ada akan produktif. Negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dsb, sehingga arus distribusi lancar. Jika pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor dan masih memperhatikan produk dalam negeri. Impor hukumnya mubah, masuk dalam kebolehan melakukan aktivitas jual beli. Seperti firman Allah SWT yang artinya: “Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba (TQS Al-Baqarah: 275). Dengan demikian penerapan sistem islam khususnya dalam masalah pangan ini akan mampu menjamin kestabilan harga pangan sehingga kestabilan ekonomi pun dapat diwujudkan serta memberikan kesejahteraan kepada umat. Wallaahu a’lam bish-showaab.