Tuna Grahita di Pilpres 2019

Oleh : Dara Millati Hanifah S.Pd

.

.

Hajatan besar Pilpres (Pemilihan Presiden) akan segera dilaksanakan. Tepatnya pada bulan April 2019. Hajatan kali ini tampaknya akan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Yakni, hadirnya orang-orang tuna grahita (disabilitas mental) untuk turut berpartisipasi dalam hajatan besar yang segera menyongsong. Hal yang di luar kewajaran.

.

Pemberlakuan kebijakan tersebut berdasar pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan orang-orang tuna grahita untuk menggunakan hak pilihnya saat Pilpres mendatang. Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin, TB Ace Hasan Syadzily menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi itu. “Menurut saya hak dia (disabilitas mental) sebagai warga negara untuk memilih adalah bagian hak dari konstitusional dan itu harus dihargai,” katanya kepada Okezone, Sabtu (news.okezone.com 24/11/2018).

.

Ia  menambahkan, putusan MK memiliki spirit untuk memberikan hak yang sama bagi kaum tuna grahita dalam pemilu. Meskipun, tidak semua penderita keterbelakangan mental dapat menggunakan hak pilihnya.

.

Ilham Saputra (Komisioner KPU) pun menambahkan, bahwa penyandang disabilitas mental yang mau ikut mencoblos diwajibkan membawa bukti berupa surat keterangan dokter jiwa. 

"Disabilitas mental ini kan semua orang mungkin mengalami tapi ada levelnya. Nah levelnya ini kemudian ditentukan oleh dokter, siapa kira-kira di antara mereka yang bisa memakai nalarnya dan turut berpartisipasi untuk menggunakan hak suaranya". (m.suara.com)

.

Hal di atas semakin menunjukkan kesemrawutan sistem politik di negeri ini. Pemerintah telah mengambil langkah tidak masuk akal dengan mengajak tuna grahita menggunakan hak pilihnya dalam pilpres 2019 mendatang. Bagaimana mungkin dia memilih pemimpin sedangkan dia tidak memiliki akal sehat.

.

Rasulullah Saw bersabda:

“Telah diangkat pena dari tiga golongan: dari orang gila sampai ia sadar, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia baligh.” (Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir 3514], Sunan at-Tirmidzi II/102/693)

.

Hadis di atas bermakna, bahwa para tuna grahita telah terbebas dari taklif hukum syariat, dan mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti selayaknya orang yang memiliki akal sehat. Itulah sebabnya, menyamakan orang gila dengan orang yang berakal bisa dikatakan sebagai kezaliman. Itulah yang terjadi saat logika menjadi landasan hukum dan kebijakan.

.

Beda halnya dengan sistem politik dalam Islam. Sebuah sistem yang menjadikan Alquran dan As-Sunnah sebagai landasan dalam menentukan kebijakan dan menyelesaikan permasalahan.

.

"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". (QS. An-Nisâ : 65)

.

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian" (QS. An-Nisâ : 59)

.

Begitu indahnya jika ayat-ayat di atas bisa diterapkan secara nyata. Tapi untuk mengganti sistem saat ini dengan sistem Islam tidaklah mudah. Butuh institusi yang mampu menjalankannya. Yaitu, Daulah Khilafah Islamiyah.

.

Wallahu A'lam bish Shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak