Oleh: Nani Salna Rosa (Ibu Rumah Tangga)
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, mengaku jengkel ketika mendengar banyak ibu rumah tangga yang berteriak harga pangan saat ini mahal. Menurut Moeldoko, ibu-ibu rumah tangga tersebut seharusnya bisa lebih mandiri untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya dengan menanam sayur-sayuran di rumah.
"Kalau ada ibu-ibu teriak harga mahal, jengkel saya. Mbok ya ambil 2-3 pohon (untuk ditanam di rumah)," kata dia dalam outlook Agribisnis 2019 di Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (13/12/2018). Lebih lanjut, ia mengungkapkan benih tanaman tersebut tak perlu membutuhkan lahan yang luas. Pasalnya, bisa ditanam di halaman rumah dalam kantung plastik, "Di plastic bag (kantung plastik) itu tumbuh. Saya sering, selalu nanya itu saya suruh goreng tempe, tahu sambil duduk di teras itu enak. Tapi bahasa kita sembrono sukanya itu mengeluh (harga mahal) tidak ada upaya keras untuk memenuhi kebutuhan pribadi," ungkap dia (detik.com).
Masalah ketahanan pangan di Indonesia memiliki dua dimensi kepentingan, yakni bagaimana agar masyarakat dapat mengakses pangan dengan harga terjangkau dan disisi lain bagaimana kesejahteraan petani dapat terlindungi. Hampir setiap tahun, kita disibukkan dengan pro-kontra impor bahan pangan, mulai dari beras, daging sapi, kedelai, hingga bawang merah.
Ada banyak persoalan yang menyebabkan hal itu terjadi. Salah satunya, data yang digunakan untuk membuat kebijakan yang bersumber dari instansi resmi negara seringkali tidak sinkron satu sama lain. Apalagi pada tataran perumusan dan eksekusi kebijakannya di lapangan.
Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.
Syari'at Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Taubah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.
Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul SAW yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.
Praktek pengendalian suplai pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al-‘Ash tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang “kepalanya” ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir) dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”.
Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syari'ah secara kaffah yang bersumber dari Allah SWT, pencipta manusia dan seluruh alam raya.
Allaahu a'lam bi ash-shawab.