Oleh : Mala Hanafie
Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan kota toleran dan intoleran. SETARA Institute merilis daftar kota toleran, Singkawang, Bekasi, dan Surabaya masuk ke dalam nama-nama 10 kota toleran versi SETARA sementara Jakarta termasuk kota yang rendah nilai toleransinya (intoleran). Pengkajian yang dibuat dengan tujuan mempromosikan kota-kota yang dianggap berhasil menanamkan nilai toleransi di wilayahnya. Penilaian yang diambil berdasarkan praktik toleransi dalam keberagaman, agama, gender maupun sosial. SETARA Institute menggunakan teknik
Pengkajian yang diadopsi dari regulasi pemerintah kota, tindakan pemerintah, regulasi sosial dan demografi agama. Jakarta dinilai sebagai kota dengan praktik toleransi yang rendah. "Jadi DKI tidak menunjukkan tindakan yang memadai sebagai representasi negara di tingkat lokal. Jadi negara di tingkat lokal itu tidak ada. Jadi regulasi pemerintah lokalnya tidak progresif, padahal potensi intoleransinya tinggi," Halili (Direktur Riset Setara Institute) menjelaskan. (https://nasional.kompas.com/read/2018/12/07/18523011/jakarta-masih-masuk-dalam-10-kota-dengan-nilai-toleransi-rendah-versi-setara)
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo turut mendukung penelitian yang dilakukan SETARA Institute. "Kami apresiasi Setara yang sudah berkomunikasi dengan Kemendagri 3 tahun lalu, punya ide ini, sehingga menambah wawasan kepada kepala daerah, ya terpilih menjadi kepala daerah bukan karena suku dan agama, tapi karena dipilih masyarakat di daerah itu yang beragam," ujarnya seusai acara di Hotel Ashley, Jakarta Pusat, Jumat (7/12/2018). (https://nasional.kompas.com/read/2018/12/07/19543881/penghargaan-kota-toleran-sadarkan-kepala-daerah-akan-keragaman-warganya)
• Standar Ganda Toleransi
Toleransi adalah suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau antarindividu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Sementara di dalam Islam toleransi telah dipaparkan, melalui surat Al-Kafirun yang tertulis di dalam Alqur'an. Bahwa Islam tidak boleh mencampuradukan agama, namun toleransi mengatur wilayah muamalah. (wikipedia)
Masuknya Jakarta sebagai kota dengan nilai toleransi yang rendah (intoleran) ditambah pernyataan Menteri Dalam Negeri tentang penelitian yang dilakukan lembaga SETARA Institute, mengingatkan pada sejumlah peristiwa yang terjadi di Ibu Kota. Seperti yang telah disaksikan bersama Jakarta menjadi titik awal isu sensitif penistaan agama yang dilakukan Ahok hingga bergulirnya Aksi Bela Islam. Kondisi perpolitikan yang memanas menjadi isu nasional manakala sosok nonmuslim merendahkan salah satu ayat didalam Alquran yang merupakan kitab suci umat Islam.
Ketika undang-undang negara menjamin hak setiap warganya untuk beribadah sesuai dengan agama/kepercayaannya masing-masing. Umat Islam yang berpegang pada ajaran agamanya, yang meyakini kitab sucinya bahwa kepala daerah haruslah dipimpin seseorang yang sama akidahnya. Justru dipandang intoleran.
Di lain hal, perbuatan tidak menyenangkan terus diterima para ulama saat hendak menyampaikan dakwah Islam. Di Bandara Susilo Sintang, Kalimantan Barat, Wasekjen MUI Ustaz Tengku Zulkarnain dihadang oleh sejumlah warga adat dayak sembari membawa mandau (golok) menolak kedatangan beliau saat hendak mengisi kegiatan Maulid Nabi pada Januari 2017 lalu. Ustaz Abdul Somad (UAS) sempat ditolak di Bali, oleh ormas yang menamakan diri Laskar Bali Cinta NKRI yang menyatroni UAS dengan membawa senjata tajam di kawasan Hotel Aston tempat UAS menginap saat hendak mengisi tausiah di Bali pada Desember 2017.
Persekusi pun harus diterima Ustaz Felix Siauw, bukan hanya sekali terjadi pembatalan kajian yang diisi oleh Ustaz Felix Siauw, di Malang, di Sragen, dan di Bangil beliau pernah diminta menandatangani surat pernyataan diantaranya agar tidak lagi mendakwahkan tentang Khilafah. Bagaimana mungkin? Sementara Khilafah adalah ajaran Islam. Apa yang salah dari seorang muslim yang berpegang pada ajaran agamanya? Mendakwahkan Islam?
Lantas toleransi menurut siapa yang menjadi dasar penelitian yang dibuat lembaga SETARA? Toleransi seperti apa yang hendak dikampanyekan lewat daftar penilaian tersebut di saat diskriminasi masih saja dialami umat Islam? Ajarannya di kriminalisasi dan ulamanya tak henti dipersekusi?
• Islam Rahmatan Lil 'alamin
Adalah Amirul Mukminin Umar Bin Khattab, Khalifah ketiga yang juga sahabat terbaik Rasulullah saw. Di masa kepemimpinannya datang seorang Yahudi mengadukan perihal tanah miliknya yang digusur oleh Sang Gubernur, Amr bin 'Ash demi perluasan bangunan masjid. Usai mendengar kisah si Yahudi, Umar lantas mengambil sebuah tulang unta kemudian menggoreskan garis lurus di atasnya dan menyerahkan kepada si Yahudi agar disampaikan kepada Amr bin 'Ash. Menerima pesan Umar, Sang Gubernur pucat pasi lantas membebaskan tanah milik orang Yahudi. Yahudi pun bingung dan menanyakan gerangan apa yang dimaksud Amirul Mukminin, "ini adalah peringatan agar aku berlaku adil (lurus), bila aku tidak berlaku adil maka Umar akan memenggal leherku." Amr bin 'Ash menjelaskan.
Begitulah teladan yang tercatat dalam tinta sejarah di masa kejayaan Islam. Islam bukan sekedar mengatur tata cara beribadah, Islam mengajarkan lemah lembut kepada manusia. Islam memiliki aturan baku pada perkara akidah, bahwa setiap perbuatan muslim terikat dengan ketetapan syariat. Namun, Islam bertoleransi dalam muamalah termasuk kepada nonmuslim. Dalam naungan Islam, di bawah aturan syariat, dilarang menyakiti nonmuslim pun hartanya haram untuk diganggu.
“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)
Allah Swt berfirman:
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)" (TQS. Al-Baqarah [2]: 256)
Toleransi dalam Islam adalah membiarkan orang lain untuk tetap menjalankan agamanya. Tanpa mengganggu atau menghalangi orang lain. Menghormati tanpa harus ikut terlibat di dalamnya. Maka mengukur nilai-nilai toleransi dengan mengenyampingkan ajaran Islam merupakan penilaian yang prematur. Membuat tolak ukur praktik toleransi secara bersamaan justru berlaku intoleran terhadap Islam adalah sebuah kekeliruan. Sejarah telah membuktikan bahwa toleransi antarumat beragama akan tercipta dibawah keagungan Islam. Karena Islam "Deen Assalam" diturunkan untuk membawa rahmat bagi seluruh alam.
Namun konsep Islam yang rahmatan lil'alamin tidak akan dapat dirasakan secara riil, apabila Islam hanya diambil sebagian saja. Maka dibutuhkan penerapan syariat Islam secara totalitas dalam sebuah institusi negara, yang nantinya akan menghacurkan kesakralan toleransi ala barat. Karena hanya Islamlah yang mampu merealisasikan konsep toleransi terbaik. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. yang tetap melakukan transaksi jual beli dengan orang Yahudi, bahkan Rasulullah saw., tidak segan untuk datang menjenguk ketika mendengar Yahudi tetangganya jatuh sakit. Tergambar bagaimana masa Islam dahulu tegak, di tengah kemajemukan, toleransi bukan hanya sekadar teori.
Wallahu'alam..