Sistem Kapitalisme dan Mental Pembunuh

Oleh: Dara Millati Hanifah S.Pd

Kasus pembunuhan terus lalu lalang di layar televisi. Mulai dari kasus pembunuhan satu keluarga di Bekasi, pembunuhan mantan wartawan di Bogor, juga kasus pembunuhan wanita pemandu karaoke di daerah Jakarta Selatan. Apakah kiranya penyebab berbagai kasus di atas.

.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan, mayoritas penyebab kasus pembunuhan  adalah masalah antara pelaku dengan korban. Menurutnya, interaksi yang terjalin tersebut menjadi masalah karena menimbulkan sakit hati, dendam, atau menyinggung perasaan sehingga pelaku nekat membunuh korban. 


"(Mayoritas) itu rata-rata karena interaksi antara korban dengan tersangka (terkait) masalah personal (menimbulkan) sakit hati, dendam, tersinggung, dan lain-lain," kata Dedi di Markas Besar (Mabes) Polri, Jakarta Selatan pada Kamis (22/11).

Kriminolog Universitas Indonesia Iqrak Sulhin mengatakan bahwa, pada umumnya penyebab aksi pembunuhan adalah adanya masalah interpersonal atau masalah antar pribadi. Bisa karena dendam, sengketa, maupun masalah lainnya. Lanjutnya, pembunuhan terjadi karena hilangnya mekanisme sosial yang memberi ruang bagi perbincangan hangat antar manusia. 


"Karena ciri khas manusia adalah berinteraksi, sebagai makhluk sosial, sehingga bisa saja ada masalah di dalam interaksi tersebut yang berujung pada terjadinya kekerasan," ujar Iqrak, m.cnnindonesia.com (22/11/2018)

Ungkapnya lagi, yang terjadi saat ini adalah interaksi cenderung terjadi secara formal, hanya dalam bentuk interaksi saling sapa saja dengan tetangga, atau perintah dari atasan. Yang mana interaksi itu tidak memberi ruang bagi penyelesaian masalah dan lebih mementingkan urusan pribadi dibanding urusan orang lain. Bukankah manusia itu makhluk sosial, yang artinya ia membutuhkan bantuan orang lain dalam segala aktivitasnya.

Sisi kemanusiaan pun semakin lama menjadi semakin tergerus. Perampokan, penculikan, dan pembunuhan semakin bias di tengah masyarakat. Kejadiannya sudah dianggap biasa. Hukuman pun dibuat seringan mungkin, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan si tersangka. Alhasil, efek jera hukuman menjadi hilang tak berbekas. Apalagi rasa takut yang seakan menguap hilang masuk ke sela awan hitam kelabu.

.

Semua fakta di atas semakin menelanjangi mata kita, bahwa sistem kapitalis saat ini tidak bisa menjamin keamanan warga negaranya dari tindakan kriminal, salah satunya adalah pembunuhan. Padahal Islam jelas telah melarang yang namanya pembunuhan.

 Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا  فَجَزَآ ؤُهٗ جَهَـنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ  عَذَابًا عَظِيْمًا

"Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah Neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya." 

(QS. An-Nisa' 4: Ayat 93).

Adapun hukuman bagi pembunuh dalam Islam adalah qishas. Secara bahasa, “qishash” (ﻗِﺼَﺎﺹٌ), berasal dari bahasa Arab yang berarti “mencari jejak”. Adapun secara istilah, qishash adalah membalas pelaku kejahatan seperti perbuatannya. (asysyariah.com)

Mengerikan dan kejam, mungkin dua kata itulah yang pertama kali muncul di benak masyarakat awam terkait qishas. Padahal dengan ditegakkannya qishash, masyarakat akan terjaga dari kejahatan. Sebab, hukuman ini mencegah setiap orang yang akan berbuat zalim dan menumpahkan darah orang lain. Menjadi simbol tegaknya keadilan. Pun sebagai kafarat dan penghapus dosa bagi sang pelaku, sehingga di akhirat nanti ia tidak lagi dituntut atas perbuatannya, tentu saja jika dia seorang muslim.

Namun menegakkan hukuman qishas tidak bisa dilakukan oleh individu, melainkan harus oleh negara. Bukan negara dengan sistem kapitalisme sekuler. Melainkan negara dengan sistem Islam, yang mendasarkan seluruh kebijakannya pada Alquran dan As-Sunnah yaitu Daulah Khilafah Islamiyah.

.

Wallahu A'lam bish shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak