Oleh: Siti Maisaroh, S.Pd (Praktisi Pendidikan)
Secara resmi tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu adalah setelah Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 menetapkan bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga saat ini. Di tanggal ini, pada biasanya seorang ayah dan anak akan mengambil alih tugas domestik sang ibu untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga. Seperti mencuci, memasak dan mengurus rumah. Dengan alasan, ingin membahagiakan dan merayakan. Atau sedikit lebih unik, dengan memberikan seikat bunga disertai kado dan surat cinta. Atau sama-sama mengenang sosok ibunya masing-masing lalu menangis haru.
Dari mengandung, melahirkan, menyusui, merawat sampai membesarkan dan mendidik, semua itu tidak akan bisa dibalas oleh apapun, bahkan dunia dan seisinya sekalipun. Olehnya, betapa indahnya jika kita jadikan setiap hari adalah hari memuliakan ibu.
Nasib ibu disistem Kapitalisme
Ibu sebagai bagian penting dalam masyarakat tentu membutuhkan perhatian serius. Sudahkan para ibu masa kini mendapatkan haknya yakni perlindungan dan perhatian dari Negara? Bagaimana dengan kebijakan-kebijakan Negara yang erat kaitannya dengan keberlangsungan hidup para ibu?
Sejak diberlakukannya MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) pada akhir tahun 2015 lalu. Nasib ibu dinegeri ini semakin memprihatinkan. MEA yang merupakan realisasi perjanjian ekonomi dan perdagangan bebas antara Indonesia dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya yang sejak lama digagas oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) khususnya dalam AFTA tahun 1992. Inti dari MEA adalah, menjadikan kawasan ini sebagai basis produksi dan pasar tunggal, hingga arus barang, jasa, investasi, modal dan buruh terampil bisa keluar masuk antar negara tanpa hambatan sedikitpun dan bersaing secara bebas. Walhasil, persaingan usaha, ekspor dan impor antar negara akan semakin ketat. Hingga menyebabkan kaum ayah khususnya sulit untuk mendapatkan pekerjaan atau bekerja dengan gaji yang pas-pasan. Hingga secara langsung, MEA telah membawa musibah besar untuk nasib para ibu.
Dengan sengaja, program ini juga ikut menarik kaum ibu untuk berpartisipasi di dalamnya. Para ibu ‘dirayu’ untuk produktif diluar rumah. Bahkan seorang ibu atau wanita pada umumnya, dianggap berprestasi jika punya penghasilan sendiri.
Kini beban mereka bertambah berat. Karena, disamping harus melakukan tugas domestiknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, merekapun dipaksa memikul peran ganda dengan turut berpikir dan bertanggungjawab menyelamatkan ekonomi keluarga. Tentunya ditengah harga-harga kebutuhan bahan pokok yang semakin menjulang.
Buktinya, program-program pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP) terus dilakukan secara massif. Melalui program PEP ini, perempuan sengaja dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan usaha. Mereka seolah sedang disiapkan untuk menjadi bemper, bahkan satu saat menjadi driver ekonomi keluarga jika ancaman kemiskinan akibat kalahnya para suami atau ayah dalam persaingan pasar jasa. Para perumus MEA, juga memotivasi para ibu dengan dalil feminisme. Padahal, dengan tidak sadar, para ibu telah dijadikan sebagai mangsa dan korban dari bisnis mega mereka. Karena sudah hal pasti, jika seorang ibu telah sibuk dengan aktifitas (pekerjaan) diluar rumah, maka perhatiannya kepada rumah, suami dan anak-anaknya sedikit demi sedikit akan terkorbankan.
Fakta yang terjadi pun cukup membuktikan, maraknya kasus pembunuhan bayi dengan alasan ekonomi, perceraian bahkan sampai pembunuhan yang dilatar belakangi permasalahan ekonomi. Para ibu telah dibentuk benaknya oleh iklan menjadi benak materialisme, sehingga jiwanya kering dari akidah Islami.
Islam Memuliakan Ibu
Islam adalah satu-satunya aturan yang paling tahu bagaimana menempatkan seorang ibu disinggasana mulianya. Manusia yang tak sekuat dan setegar kaum ayah, namun Rasulullah Saw menempatkan posisi mulia ibu tiga tingkat dari posisi ayah.
Peran yang paling kuat adalah dari Negara. Ketika Negara tahu bagaimana menempatkan posisi ibu, maka permasalahan akan ditemukan jalan keluarnya. Hanya dengan mengembalikan posisi ibu kepada fungsi dan tugas pokoknya, yakni mengatur urusan rumah tangga, mendidik anak-anaknya agar tercipta generasi unggul berkepribadian Islam. Bukan dengan menjadikan mereka sebagai mesian ATM Negara dalam menopang sector perekonomian. Karena secara bersamaan, ibu digiring untuk mencari uang sebanyak-banyaknya, agar mampu membeli produk-produk buatan para pengusaha.
Hanya Negara yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh lah yang akan mengembalikan ‘mahkota’ para ibu, yakni mencetak para generasi unggulan yang siap menjadi pemimpin dimasa mendatang. Karena system Islam akan peduli pada segala factor yang akan menyebabkan kebahagiaan para ibu. Negara akan membuka lapangan kerja untuk para suami mencari nafkah yang halal. Negara akan menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan untuk setiap rakyatnya. Ini karena Negara Islam mengelola potensi sumber daya alamnya dengan sumber daya manusianya dengan baik. Sehingga, para ibu tidak perlu khawatir dengan nasib dan masa depan keluarganya.
Marilah wahai saudaraku, kita menerima Islam sebagai solusi hakiki atas segala problematika yang terjadi. Allah berfirman, “Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; diantaranya orang-orang yang soleh dan diantaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (TQS. Al A’raf 168).
Waallahu a’lam bishowab