Reuni 212, Ada Apa di Balik Bungkamnya Media?


Yusra Ummu Izzah
(Pendidik Generasi)


  Ahad, 2 Desember 2018 jutaan manusia dari berbagai kota dan daerah dengan latar belakang profesi yang berbeda berkumpul di monumen nasional dengan tertib dan damai. Peristiwa besar yang menjadi sorotan media-media internasional ini, sama sekali tidak “menarik” dan tidak layak diberitakan bagi sebagian besar media nasional yang ada di Indonesia. Padahal peristiwa tersebut terjadi di jantung ibu kota.  Di negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. 

Peristiwa besar tersebut digambarkan oleh pengamat politik, Rocky Gerung  saat tampil di ILC TV One (Selasa,  4 Desember) sebagai momen yang monumental. Monas (Monumen Nasional) di sebut oleh beliau sabagai monumen akal sehat dengan ketertiban dan kepemimpinan intelektual karena jutaan manusia menunjukkan adab yang luar biasa bermartabat. Mereka demikian terkontrol hingga tidak ada insiden buruk hingga berakhirnya acara. Dengan kata lain Reuni 212 adalah reuni akal sehat yang mengubah kuantitas menjadi kualitas.  Bahwa  dengan ide bisa menghasilkan perubahan. 

Tanggapan senada juga datang dari Effendi Gazali, seorang pakar komunikasi politik. Ia mengatakan pertemuan 212 adalah kumpulan orang-orang yang mencintai perdamaian. Peserta 212 adalah kumpulan orang-orang yang mampu  menguasai dirinya dengan baik. Marah namun dibalut dengan senyum. Sejuk dan indah. 

Blackout

Yang menjadi pertanyaan besar bagi penulis adalah mengapa momen sebesar itu, tidak menarik untuk diliput? Padahal, bagi kalangan media peristiwa 212 itu jelas memenuhi semua syarat kelayakan berita. Mau diperdebatkan dari sisi apapun reuni 212 jelas memenuhi semua syarat. Dari sisi nilai berita (News Value), luasnya pengaruh (Magnitude), Kedekatan (Proximity), aktual (Kebaruan), dampak (impact), masalah kemanusiaan (human interest), dan keluarbiasaan (unusualiness) merupakan rumus baku pengangan para wartawan.  (Hersubeno Arief; Bunuh Diri Massal Pers Indonesia jilid II).

Masih menurut Hersuboeno Arief, berkumpulnya jutaan orang dari berbagai pernjuru kota di Indonesia dan juga kota-kota dunia dilapangan Monas apalagi pada masa kampanye jelas merupakan berita besar. Tidak ada alsan untuk tidak memuat apalagi mengabaikanya. 

Dari fakta-fakta yang ada dilapangan dan pernyataan para tokoh, tidak berlebihan jika dikatakan ada kepentingan ideologi, politik dan bisnis yang membuat Pers tidak menyiarkan dengan semestinya. Kalau toh berita reuni 212 itu dimuat, pers menerapkan dua rumus baku yaitu framing dan blackout. Buktinya:

- Harian Kompas, Koran nasional ini tidak memuat berita reuni 212 dengan semestinya. Halaman muka kompas bersih dari foto-foto peristiwa bersejarah ini. Kompas malah memilih berita utama dengan judul “polusi plastik mengamcam” dengan foto ukuran besar. 

- Harian sindo milik Ketum partai Perindo Harry Tanoe memilih berita utama “pesona ibu Negara dipanggung G-30” juga dengan foto-foto dalam ukuran besar. 

- Halaman muka harian Indonesia milik Ketum partai Nasdem- Surya Paloh juga bersih dari pemberiataan reuni 212

- Sementara Harian Warta Kota, memuat judul berita dengan berita utama yang sangat besar “ ketua RW wafat usai ikut reuni 212”

- Hanya Koran rakyat merdeka-Republika yang memuat berita dan foto peristiwa reuni 212 di halaman muka dengan judul “212 makin lama, makin besar kenapa yah?


Kapitalisme Dalangnya

Dengan mengamati berbagai halaman muka media cetak, kita bisa mendapat gambaran apa yang terjadi dibalik semua itu? Media bersama kekuatan besar di belakangnya tengah melakukan agenda setting. Mereka membuat skenario menenggelamkan peristiwa reuni 212 atau setidaknya menjadikan peristiwa tersebut tidak penting dan tidak relevan. Operasi semacam ini hanya bisa dilakukan oleh kekuatan besar dan melibatkan biaya yang besar pula. 

Ada 4 target yang hendak dicapai dari angenda setting ini 

1. Blackout  sepenuhnya jangan sampai berita tersebut muncul di media;

2. kalau tidak bisa melakukan Blackout, maka berita itu harus dibuat tidak penting dan tidak relevan. Apa yang dilakukan Kompas dan Media Indonesia masuk dalam kategori ini;

3. Diberitakan namun dengan pemberitaan yang datar dan biasa-biasa saja. Contohnya pada harian Republika;

4. Memberitakan tapi dengan melakukan  framing. Contohnya harian Warta Kota yang membuat judul “ketua RW wafat pasca reuni”. (Hersuboeno Arief; bunuh diri masal pers Indonesia jilid II).

Hal yang sama juga kita amati di media slektronik. Hanya satu media yang tampaknya mencoba tetap menjaga akal sehat ditengah semua kegilaan. 

Sangat jelas. Tidak perlu punya pengalaman di media untuk memahami semua keanehan yang kini tengah melanda sebagian besar media utama di Indonesia bahkan media yang ada di dunia saat ini. Fungsi utama media sebagai kontrol sosial , distribusi informasi, edukasi dan hiburan telah bergeser menjadi alat politik penguasa. Media telah menjadi humas bahkan brosur pemerintah. Dampaknya media tidak lagi independen dalam menyampaikan berita juga dalam berpendapat. 

Maka tak bisa dipungkiri kapitalismelah  biang keladi dari permasalahan ini.  Sekulerisme yang menjelma menjadi asas manfaat meniscayakan terjadinya hal ini.  Dengan kata lain ide memisahkan agama dari kehidupan menjadikan memandang segala sesuatu hanya berdasarkan untung dan rating. Tak jarang hingga mengorbankan idealisme.  Demi ambisi dan bius kekuasaan. Contoh yang sangat nyata adalah reuni 212, baik sebelum reuni itu berlangsung maupun setelahnya. Banyak ketidak adilan yang dirasakan masyarakat, terutama ummat Islam sebagai penduduk yang mayoritas di negeri ini. Umat benar-benar merasakan ketidakadilan itu, bagaimana media menggambarkan tidak pentingnya pertemuan itu bahkan tidak sedikit  upaya untuk menggagalkan reuni tersebut mulai dari cara halus sampai  kasar. Wajar kalau kemudian Aa Gym mengatakan, “Ada satu kepedihan ketika mendengar kata radikal, intoleran, anti pancasila, teroris ditujukan pada kami ummat islam, padahal kami begitu mencintai negeri ini. Saya rela mati demi menjaga negeri ini tetap dalam keberkahan di jalan Allah. Demi Allah, saya tidak rela bangsa ini  hancur. “(ILC TV One, 4 Desember 2018). 

Dengan demikian permainan para pemilik modal dan pengelola media yang berselingkuh dengan penguasa ini jelas tidak boleh dibiarkan. Mereka tidak menyadari sedang bermain-main dengan sebuah permainan yang berbahaya, memyebabkan kredibilitas media menjadi rusak. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan dan media-media itu akan ditinggalkan. 

Pada akhirnya yang harus kita lakukan adalah meningkatkan fungsi kontrol terhadap penguasa dengan mengajak segenap lapisan masyarakat menjalankan fungsi kontrolnya. Termasuk para aktivis, wartawan, lembaga-lembaga  kewartawanan, maupun lembaga-lembaga seperti Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers untuk tidak tinggal diam. Terlalu mahal harga yang harus dibayar oleh bangsa ini jikalau medianya terus larut dalam konspirasi dan kooptasi tanpa ada yang mengontrol. Cukuplah bagi kita akan sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa yang melihat kemungkaran,  maka ubahlah dengan tangannya.   Jika ia tidak mampu,  maka ubahlah dengan lisannya.  Jika tidak mampu jua  maka dengan hatinya.  Yang demikian itu adalah selemah-lemahya iman.” (Muttafaq ‘alaih).  Wallahua’lam. 







Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak