Oleh: Melani Widaningsih (Pemerhati Remaja)
Maraknya tayangan sinetron, film, ftv remaja, dan lain sebagainya yang mempertontonkan aktifitas pacaran pasangan remaja yang menampilkan kemesraan layaknya suami istri tentu membuat miris kita sebagai orang tua. Bagaimana tidak, dengan tontonan yang mengumbar pergaulan sedemikian bebas tanpa memperhatikan norma-norma Agama (Islam) tentu kita sebagai orang tua menjadi khawatir akan dampak pengaruh yang akan ditimbulkan kepada anak-anak remaja kita. Bahkan yang membuat semakin cemas, di era teknologi seperti hari ini dimana akses internet begitu mudah didapatkan, dimana link-link, website yang berbau pornografi berupa gambar dan video dengan sangat mudah bisa diakses oleh berbagai kalangan khususnya para remaja, bahkan anak-anak dibawah umur sekalipun. Tentu menambah kehawatiran kita sebagai orang tua akan masa depan anak-anak remaja kita.
Manusia pada dasarnya sudah Allah bekali naluri ketertarikan kepada lawan jenis (gharizatu an-nauw) dimana salah satu tandanya adalah adanya naluri seksualitas yang pada dasarnya menuntut pemenuhan. Dalam Islam, satu-satunya cara untuk melampiaskan pemenuhan seksualitas tersebut tidak lain adalah dengan jalan menikah sesuai dengan tuntutan Syariat Islam. Akan tetapi di tengah maraknya pergaulan bebas hari ini, ternyata para remaja diajari untuk bisa melampiaskan dorongan naluri tersebut melalui aktivitas pacaran yang dianggap menjadi jalan keluar untuk mereka yang ingin melampiaskan dorongan naluri tersebut diluar jalur pernikahan yang sudah ditetapkan hanya dengan alasan belum cukup umur. Disinilah sebetulnya letak permasalahannya.
Di dalam fikih Islam, syarat untuk menikah ditentukan dengan standar baligh bukan usia. Dimana salah satu tanda-tanda baligh pun sudah sangat jelas dan difahami oleh kita sebagai seorang Muslim. Jadi apabila laki-laki atau wanita yang sudah terkategori baligh sudah sangat layak untuk menikah ketika memang syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Akan tetapi hari ini dibawah pengaturan yang tidak menjadikan Islam sebagai standar perbuatan dan landasan hukum, maka ditetapkanlah batasan usia bagi mereka yang mau menikah padahal dorongan seksualitas tentu tidak bisa dihentikan begitu saja. Maka di dalam salah satu hadits Rasulullah Saw menyampaikan siapa saja pemuda (i) yang sudah mampu untuk menikah, maka menikahlah.
Batasan mampu inilah seharusnya yang menjadi perhatian kita. Klasifikasi mampu tentu juga menjadi hal yang sudah sangat diperhatikan di dalam Islam mengingat berbagai tuntutan kewajiban yang harus dipenuhi setelah menikah. Salah satunya pemenuhan nafkah, pengurusan anak, adil, dan lain sebagainya. Jadi sekalipun para pemuda (i) sudah masuk fase baligh akan tetapi dirasa belum mampu maka tidak lantas dipaksakan apabila dirasa akan malah menimbulkan dharar. Dan salah satu cara yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw adalah dengan shaum (puasa), karena sejatinya shaum menjauhkan mereka dari perbuatan keji dan mungkar. Bukan malah diarahkan pada aktivitas pacaran sebagaimana yang selama ini dipertontonkan.
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).” (HR. Bukhari).
Sungguh masalah pergaulan bebas ini merupakan permasalahan serius yang harus di segera di atasi dan diberikan jalan keluar. Ini merupakan tanggungjawab bersama, orang tua, masyarakat dan dalam hal ini bagi pemerintah sebagai pemegang kendali kewenangan dalam menetapkan kebijakan hukum dan perundang-undangan akan tetapi ketika Islam tidak dijadikan landasan dalam menetapkan regulasi hukum (sekulerisme) tentu jauh panggang daripada api ketika kita berharap lahirnya aturan-aturan yang sesuai dengan landasan syar'i.
Akhir-akhir ini pemerintah melalui BKKBN gencar mengopinikan batasan usia 25 tahun bagi laki-laki dan minimal 20 tahun bagi perempuan yang hendak menikah. Hal ini tentu tidak bisa dijadikan solusi akan tetapi malah akan membuka peluang yang sangat besar untuk terjadinya perzinahan melalui aktifitas pacaran yang dianggap sebagai jalan keluar untuk memenuhi tuntutan gharizatu an-nauw. Maka, lihatlah betapa banyaknya kasus pelecehan seksual, hamil diluar nikah dan aborsi hari ini. Tentu kita tidak bisa menutup mata dan memungkiri bahwa hal ini terjadi dikarenakan adanya pola yang salah dalam pengurusan dan pengaturan sistem pergaulan yang tidak bersumber dari Islam.
Hanya Islam yang bisa memecahkan persoalan ini. Dengan menjadikan akidah Islam sebagai pondasi ketakwaan setiap individu masyarakat, kita tentu akan melihat bagaimana kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia, mendatangkan ketenangan, dan memuaskan akal kita sebagai manusia. Disamping tentu dengan penerapan hukum-hukum Islam lah kita berharap Allah turunkan Berkah dari langit dan bumi sebagaimana yang telah dijanjikan. Bi idznillah.
Wallahu’alam Bi Shawwab