Oleh : W Wardani (Komunitas Ta’lim Baiti Jannati Banjarbaru)
Jumat 16 November, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jlid XVI. Salah satu kebijakan yang diambil dalam paket kebijakan ekonomi tersebut adalah memberikan izin kepada pihak asing untuk berusaha di 54 bidang usaha. Izin tersebut dilakukan dengan mengeluarkan 54 bidang usaha dari Daftar Negatif Investasi (relaksasi DNI). Dengan izin tersebut nantinya aliran modal asing untuk ke 54 bidang usaha tersebut terbuka 100 persen ( www.cnnindonesia.com, 16/11/2018).
Seperti yang telah kita ketahui daftar negative investasi atau DNI merupakan daftar sektor bisnis yang disusun pemerintah sebagai informasi bagi para calon investor tentang bisnis yang tidak diperbolehkan di Indonesia dan berbagai aturannya, terutama mengenai kepemilikan bersama. DNI Indonesia dibuat untuk melindungi ekonomi Indonesia, serta untuk memberikan peluang bisnis lebih kepada investor. (www.investindonesia.go.id).
Beberapa sektor usaha yang termasuk dikeluarkan dari DNI diantaranya industri percetakan kain, perdagangan eceran melalui pemesanan pos dan internet, warung internet (warnet), jasa pemboran migas di laut, industri rokok kretek dan putih, hingga gedung pertunjukan seni. warung internet, industri kayu lapis, industri pariwisata alam, jasa survei panas bumi, jasa pemboran migas di laut, industri bubur kertas dari kayu dan sistem komunikasi data.
Kebijakan pemerintah tentang DNI ini menuai kritik dari berbagai kalangan. Menurut ekonom INDEF Bina Yudhistira Adhinegara dalam Tribunews.com, 20/11/2018,menyatakan bahwa liberalisasi dengan membuka pintu masuk bagi investor di 25 sektor bidang usaha termasuk sektor jasa memiliki konsekuensi. Jika terlalu dibuka ke pemain asing, resikonya pertumbuhan ekonomi tidak inklusif hanya dikuasai investor skala besar. Jika ada keuntungan pun akan lari ke negara induknya.
Kritik juga disampaikan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Seperti yang dilansir oleh Akuratnews.com, 24/11/2018, KAMMI menilai menilai kebijakan Pemerintah yang mencabut sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dari Daftar Negatif Investasi (DNI) sebagai kebijakan yang berbahaya. Menurutnya saat ini masyarakat kecil hanya memiliki dan berkuasa atas sektor UMKM di tengah kuatnya korporasi-korporasi yang telah dikuasai asing. Bagi masyarakat kecil, UMKM dianggap sektor terakhir yang dimiliki dalam menopang kehidupan. kalau sektor ini pun sudah tidak lagi bebas dari investasi asing, maka apa lagi yang dipunyai masyarakat?
Kebijakan perintah yang memuluskan pihak asing untuk berusaha di negara kita ini sangatlah tidak tepat. Di tengah situasi perekonomian yang kian sulit, dan terpaan kurs dollar yang belum stabil, kebijakan ini akan melemahkan iklim usaha. . Bagaimana UKMM akan dapat bersaing dengan pemodal asing yang mempunyai modal lebih besar? Bisa dipastikan akan banyak UKKM yang akan gulung tikar. Sedangkan perusahaan asing akan meraup keuntungan. Dan sekali lagi rakyat hanya akan menjadi buruh dan jadi penonton.
Para ahli ekonomi sepakat bahwa fundamental ekonomi kita belumlah kuat.. Fundamental ekonomi yang kokoh bisa dibangun dengan mengerakkan sektor-sektor riil dengan melibatkan berbagai UKMM maupun koperasi. Untuk itu pemerintah seharusnya berperan sebagai layaknya seorang bapak yang melindungi anak-anaknya. Seharusnya pemerintah mencari cara bagaimana agar supaya anak-anaknya ini bisa berusaha dan mempunyai penghasilan yang cukup. Tidak malah memudahkan orang lain untuk merusaha dengan menelantarkan anaknya.
Inilah yang terjadi sekarang ini. Yang menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan adalah ada tidak nya manfaat yang dihasilkan. Inilah ciri khas dari ideologi sekuler yang menelorkan sistem ekonomi kapitalis liberal dalam perekonomian. Dalam ekonomil iberal ini siapa saja yang mempunyai modal dialah yang akan kaya. Pemerintah membuka keran investasi asing seluas-luasnya, dengan mengabaikan kepentingan rakyat. Kalau sudah demikian akan sangat mudahnya negara dikuasi oleh asing,
Demikianlah yang terjadi jika penguasa memakai hawa nafsunya dalam mengurus negara. Padahal Islam mempunyai aturan yang jelas tentang pengurusan negara termasuk juga perekonomiannya. Di dalam Islam penguasa bertugas sebagai junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Penguasa berkewajiban mengurusui urusan umat dan menjamin ditetapkannya hukum syara dalam segala aspek, termasuk juga dalam bidang ekonomi. Itu semua dilakukan sebagai wujud ketaataan dan keridhaan terhadap apa yang telah Allah tetapkan, serta keyakinanan bahwa apa yang berasal dari Allah pasti membawa kebaikan.
Dalam masalah ekonomi, Islam mengatur kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat. Negara juga memastikan berjalannya politik ekonomi dan mewujudkan kemandirian sesuai dengan hukum syara.
Dalam hal kepemilikan, barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti tambang, hasil hutan, hasil laut, dsb. tidak boleh diberikan kepada perorangan apalagi kepada pihak asing Tersebut dalam hadist Rasullulah SAW “ Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal air, padang rumput dan api” (HR Abu Dawud dan Ibn. Majah). Negara berkewajiban mengelola sumber daya alam dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk rakyat dalam bentuk fasilitas-fasilitas umum seperti jalan, jembatan, pembiayaan sekolah, rumah sakit .
Dengan adanya mekanisme pengaturan yang jelas di dalam Islam. maka investasi asing tidak mudah masuk dan mengusai negara islam. Walaupun demikian, bukan berarti orang asing di luar negara, tidak boleh untuk berusaha di negeri Islam. Beberapa aturan terkait tentang investasi asing di dalam negara Islam adalah sebagai berikut (Taqiyuddin An Nabhani - Nizhamul Iqtishadi fil Islam) :
Investor asing tidak diperbolehkan melakukan investasi dalam bidang yang strategis atau sangat vital, Investasi asing tidak boleh dalam bidang yang membahayakan, Investor hanya diperbolehkan dalam bidang yang halal, Investasi asing tidak diperbolehkan pada kepemilikan umum (harta rakyat), Investasi asing tidak boleh dalam hal yang membahayakan akhlak orang Islam, Investor tidak diperbolehkan bergerak di sektor nonriil, Investor yang akan berinvestasi, bukanlah investor yang terkategori muharriban fi’lan (negara yang secara nyata memerangi Islam dan kaum muslimin), Investor dari negara negara kafir harbi hukman, atau mua’ahad, maka penguasa bisa memberikan izin kepada mereka untuk menjalankan bisnis di dalam wilayah negara Islam sesuai dengan ketentuan hukum syariah. Selain itu usaha mereka dibatasi pada komoditas yang terkatagori kepemilikan individu. Mereka tidak boleh mengelola kepemilikan umum atau kepemilikan negara. Kalaupun mereka diminta maka oleh negara mengerjakan sebuah proyek , mereka sifatnya hanya sebagai perusahaan/individu yang dikontrak/dipekerjakan oleh negara, bukan pengelola.
Dengan adanya pengaturan masalah perkonomian tak terkecuali investasi yang berlandaskan hukum syara ini akan mengantarkan kesejahteraan kepada rakyat. Dengan demikian negara akan mandiri, dan tidak akan bergantung kepada asing. Wallahu a’lam